Random post

Saturday, July 21, 2018

√ Pelajaran Penting Dalam Membangun Masjid Di Jepang Dan Negara Nonmuslim Lainnya

Sekitar tiga bulan yang lalu, Aku mendapat permintaan untuk menghadiri rapat rencana pembangunan Masjid di Kurashiki. Awalnya kupikir rapat ini sudah pada tahapan yang cukup jauh, menyerupai pembahasan keorganisasian dan pengurusan Masjid, ataupun penentuan acara Masjid. Namun ternyata rapat ini masih dalam tahap pembentukan panitia untuk pembangunan Masjid. Rapat ini khususnya adalah membuka wacana bahwa akan diadakan pembangunan Masjid beserta latar belakang dan kebutuhannya.


Setelah rapat pertama, diperoleh Komite Pembangunan Masjid. Beliau-beliau ini dipilih berdasarkan kemungkinan tinggal permanen, kemampuan berbahasa Jepang (dan kaitannya dengan administrasi) dan kebersediaan. Aku terang tidak masuk dalam komite, tetapi diundang kembali pada rapat kedua.


Alhamdulillah sekali saya bersyukur hadir di rapat kedua. Menurutku rapat kedua berisi ilmu yang akan sangat penting untuk diketahui semua muslim, terutama penggerak da’wah. Pada rapat kedua, diundang dua orang perwakilan dari Masjid Hiroshima yaitu Sdr. Arif Hidayat dan Mr. Dr. Basem Abdullah.


Brother Basem Abdullah ini akan sharing pengalaman pembangunan Masjid di Jepang. Sebab ia ini mempunyai banyak pengalaman dalam kegiatan pendirian Masjid di Jepang. Mari simak:


Konsep dasar Pendirian Masjid


 Aku mendapat permintaan untuk menghadiri rapat rencana pembangunan Masjid di Kurashiki √ Pelajaran Penting dalam Membangun Masjid di Jepang dan Negara Nonmuslim Lainnya
Pendirian Masjid di Jepang


1. Masjid yang akan didirikan adalah sentra peribadahan dan kegiatan da’wah ummat Islam.

2. Masjid akan bersifat permanen, sebagai rumah Allah ia tak boleh tutup oleh kepentingan dan bahaya apapun selama masih ada muslim.

3. Segala jenis kegiatan da’wah keislaman difasilitasi Masjid.

4. Tidak ada fanatisme kesukuan, aliran maupun golongan tertentu di Masjid.


 


Status Resmi dan Kekuatan Hukum


Pertama-tama, dari Hiroshima memberikan ihwal pentingnya legal document dan kekuatan aturan Masjid. Jika membangun Masjid/Mushola di Indonesia mungkin legal dokumen dan kekuatan hukumnya bisa diperoleh dengan gampang alasannya pemerintah dan masyarakatnya mendukung adanya rumah ibadah, di Jepang dan Negara Nonmuslim lain semuanya berbeda.


 Aku mendapat permintaan untuk menghadiri rapat rencana pembangunan Masjid di Kurashiki √ Pelajaran Penting dalam Membangun Masjid di Jepang dan Negara Nonmuslim Lainnya


Keberadaan Masjid harus terjamin oleh aturan yang berlaku di Jepang. Ia tidak dilindungi oleh pemerintah, masyarakat ataupun pihak swasta, tetapi dilindungi oleh hak-hak aturan yang ada. Oleh lantaran itu pengurus masjid harus memperhatikan kejelasan status aturan dari Masjid tersebut.


Salah satu misalnya adalah insiden ihwal meninggalnya seorang muslimah (mualaf) Jepang. Pihak keluarganya ingin memakamkan dengan cara dibakar (ala Jepang), tetapi sahabat-sahabatnya di komunitas Masjid Fukuoka tahu kalau dia seorang muslimah, sesudah ditelisik ternyata ia pernah menuliskan surat wasiat biar pemakamannya harus dengan cara muslim. Kemudian pihak Masjid mengajukan permohonan untuk itu. Setelah sidang, aturan yang berlaku menyatakan kasus ini dimenangkan oleh Masjid dengan bukti-bukti yang cukup.


Contoh lainnya adalah kegiatan da’wah masjid bergesekan dengan masyarakat sekitar (seperti idul fitri yang mendatangkan banyak orang) maka penyelesaiannya harus mengikuti mekanisme aturan yang berlaku.


Jika posisi Masjid lemah dimata aturan maka bisa dipastikan akan kalah dalam kedua kasus.


 


Manajemen Organisasi Masjid


Kepemilikan dan pengelolaan masjid harus ditangan organisasi yang professional dan bertanggung jawab. Salah satu model yang dicontohkan adalah di Masjid Hiroshima.


 Aku mendapat permintaan untuk menghadiri rapat rencana pembangunan Masjid di Kurashiki √ Pelajaran Penting dalam Membangun Masjid di Jepang dan Negara Nonmuslim Lainnya


Di sana pimpinan organisasinya berbentuk majelis, sehingga hal-hal penting dan arah da’wah Masjid diputuskan oleh lima orang yang dipilih dengan beberapa pertimbangan. Keputusan untuk merobohkan, menutup ataupun menjual Masjid hanya bisa dilakukan kalau kelima orang tersebut sepakat. Artinya hanya perlu satu orang yang benar-benar shalih dan lurus dalam niatan da’wahnya sehingga Masjid ini bertahan.


Salah satu dongeng menarik saat Masjid didirikan tanpa kepemilikan organisasi ialah:

Ada seorang muslim yang mempunyai kemampuan finansial yang cukup dan mempunyai sebidang tanah di negara nonmuslim. Dari tanah tersebut kemudian dibangunlah Masjid tanpa pemindanhan tangan kepemilikan tanahnya. Muslim ini merawat masjid dengan sangat baik, sampai jadinya ia meninggal dunia. Secara otomatis kepemilikan tanahnya jatuh pada Sang Anak. Anak tersebut ternyata tidak meiliki adat dan keimanan yang sama dengan Ayahnya. Sang Anak ingin menjual bangunan masjid tersebut dan menghentikan kegiatan di Masjid sampai ummat islam mau membeli Masjid dan tanahnya.


Akhirnya setiap harinya Sang anak masuk ke Masjid, membawa alkohol dan mabuk-mabukan saat orang akan sembahyang. Tak satupun muslim yang bisa menghentikan Sang Anak, lantaran seluruh dokumen kepemilikan jatuh ke tangan Sang anak.


Contoh lainnya adalah saat keorganisasian tidak professional dan bertanggung jawab, maka akan ada keberpihakan pada kelompok tertentu. Misalkan begini, kalau organisasi bergerak berdasarkan keputusan bersama, maka mekanisme yang mungkin hanyalah voting.


Mekanisme voting memberikan kemungkinan kelompok secara umum dikuasai untuk menguasai Masjid. Jika dicontohkan secara sederhana di Indonesia, kalau mayoritasnya orang NU maka mereka akan melaksanakan segala jenis peribadahan sesuai cara NU, pun sebaliknya kalau Muhammadiah yang mayoritas.


Masjid dihentikan dikotrol oleh kekuatan mayoritas, alasannya rumah ibadah ini milik Allah, untuk kejayaan islam. Oleh lantaran itu kehadiran manajemen organisasi yang dipimpin oleh majelis (yang berilmu) meminimalisir penguasaan oleh satu golongan ini.


 


Waqaf dan kekuatan ekonomi Masjid


Masjid harus mempunyai waqaf yang cukup. Point ketiga ini yang benar-benar menciptakan perspektif saya berubah total. Ini ihwal ekonomi Masjid!


 Aku mendapat permintaan untuk menghadiri rapat rencana pembangunan Masjid di Kurashiki √ Pelajaran Penting dalam Membangun Masjid di Jepang dan Negara Nonmuslim Lainnya


Kalau membangun Masjid di Indonesia, urusan biaya air, listrik dan kebutuhan harian Masjid bisa dengan gampang kita dapatkan dengan sumbangan warga. Sumbangan tak cukup, eksklusif saja datangin Bupati, Camat, Pemilik Perusahaan untuk menyumbang, beres. Aku tahu model ini lantaran kebetulan orang tuaku mengelola mushola kecil di depan rumah.


Bagaimana kalau di Jepang? Semuanya berubah! Tidak akan bisa menempuh jalan yang sama.


Sejak zaman Khulafaur Rasyidin ternyata pembangunan Masjid itu harus terukur terang dan lengkap. Karena disempurnakan dengan waqaf. Walaupun pada masa itu pemerintahnya pro islam, tetapi pembangunan Masjid selalu dilengkapi dengan waqaf-nya berupa kebun kurma. Dengan cara ini, segala keperluan Masjid akan terpenuhi tanpa adanya sumbangan dari masyarakat.


Terlebih lagi kalau ingin membangun Masjid di negara nonmuslim menyerupai di Jepang, hal ini mutlak harus diaplikasikan. Masjid yang dibangun dengan uang sumbangan (masyarakat muslim) dihentikan hanya berbentuk bangunan saja, kemudian menyandarkan biaya pengurusan (utilitas) bangunan hanya pada sumbangan ummat.


Ketika sumbangan tidak banyak, maka siapa yang akan menanggung biaya tersebut? Tidak ada pejabat kaya raya yang bisa dipanggil untuk membayar. Apalagi mengandalkan majelis pengurus masjid.


Kalau biaya ini hanya sekali saja, mungkin bisa saja dilalui dengan mudah. Namun kalau berkali-kali?


Contoh terburuknya adalah saat negara Jepang mengalami krisis ekonomi. Maka secara otomatis mereka akan menghentikan impor tenaga kerja asing. Ini sudah pernah terjadi dan mungkin saja terulang. Saat itu terjadi, jumlah muslim di Jepang akan menurun secara drastis. Artinya saat perusahaan menghentikan kerja tenaga asing, maka Masjid akan sepi dan sumbangan bisa kosong.


Contoh lainnya ini sangat mungkin terjadi bahkan di Indonesia sekalipun. Jika masjid hanya mengandalkan sumbangan untuk menutupi biaya fasilitasnya, maka dengan gampang Masjid bisa dikuasai oleh golongan tertentu. Andai saja organisasi Masjid sudah anggun dengan kepemimpinan berupa Majelis, tetap saja masih perlu kekuatan ekonomi dari waqaf.


Misalkan ummat muslim Indonesia di Hiroshima ingin menggambil alih masjid Hirosima dengan wangsit bahwa imam sholat di Masjid harus dari mazhab Syafii dan dihentikan yang lainnya. Maka cara paling gampang adalah dengan mengarahkan jama’ah biar tidak berinfaq ke Masjid. Dengan cara ini, kalau Masjid ekonominya hanya bergantung pada infaq (sumbangan). Sebentar saja mereka akan kolaps, dan eksklusif menuruti tuntutan dari ummat muslim Indonesia alasannya dana yang disumbangkan oleh mereka adalah jalan hidupnya kegiatan Masjid.


Contoh ini juga terjadi di Indonesia dalam bentuk golongan NU, Muhammadiah, Jamaah Tabligh dan yang lainnya. (Saat kuliah, ini terjadi di Masjid akrab kontrakanku, juga terjadi di Mushola depan rumah temanku)


Kasus aktual lainnya berkaitan dengan kemandirian ekonomi Masjid dengan waqaf ini bisa dilihat dari pengalaman Masjid Hiroshima. Sekali waktu seorang Majelis Organisasi Masjid Hiroshima ditelepon oleh pihak kerajaan Arab Saudi. Dari Humas Kerajaan Saudi ini meminta biar Masjid Hiroshima mengadakan sholat mistik untuk meninggalnya seorang pangeran Saudi. Mereka memperlihatkan derma dana kalau ini dilakukan. Tujuannya adalah biar masuk ke dalam media. Dengan enteng Majelis Organisasi Masjid Hiroshima menolak anjuran tersebut. Mereka sudah punya cukup uang alasannya Waqaf Masjid Hiroshima berupa apartement 4 lantai. Mereka punya dana utilitas dan kegiatan da’wah yang cukup.


Independensi Masjid dari aneka macam golongan bisa dintentukan oleh kemandirian ekonomi Masjid. Dan hal ini bisa diraih dengan Waqaf Masjid yang produktif.


Tiga point penting ini merupakan landasan dasar dalam membangun Masjid di Jepang ataupun negara Nonmuslim lainnya. Hilangnya satu ataupun ketiga point ini mengakibatkan Masjid tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik.


Secara pribadi, saya setuju bahwa ketiganya penting untuk pembangunan Masjid bukan hanya di Jepang tetapi juga di Indonesia. Masjid yang mempunyai ketiga pilar penting tersebut mempunyai kesempatan lebih besar untuk bisa bertahan secara permanen dinegara manapun selama ada muslimnya.



Sumber https://mystupidtheory.com