Random post

Sunday, July 22, 2018

√ Apakah Kementerian Pendidikan Sudah Final Dengan Eksperimennya?

Akun sosial media Kementerian Pendidikan sedang sangat marak dibicarakan akhir-akhir ini. Alasannya, berbondong-bondong generasi millenials (siswa) memberikan keluhannya di kolom komentar. Banyak yang melihat kalau komentar dari siswa tersebut ‘lucu’ bahkan ada yang menilai `cerdas’. Namun Aku melihat komentar yang masuk itu hanya lucu sebagai candaan tapi semoga bukan kenyataan. Tulisan kali ini tidak akan membahas tetang ujian Sekolah Menengan Atas yang gres saja berlangsung itu. Kita akan bicara lebih jauh ke hal mendasar, pendidikan semenjak zaman saya sekolah.


Sejak tahun 1999, semenjak Aku di SD hingga sekarang, Kementerian Pendidikan terus-terusan mengganti programnya. Bagaimana dampak bongkar pasang kurikulum ini? Dan bagaimana sebaiknya pendidikan dijalankan?


Akun sosial media Kementerian Pendidikan sedang sangat marak dibicarakan simpulan √ Apakah Kementerian Pendidikan Sudah Selesai dengan Eksperimennya?
Kurikulum Pendidikan Indonesia


Proyek Eksperiment Pendidikan


Masih ingat sekali dulu sempat ada jadwal untuk pengadaan susu dan makanan di dikala istirahat pertama (semacam makan siang). Belakangan Aku mengerti kalau jadwal ini adalah versi KW5-nya dari jadwal makan siang dalam pendidikan Jepang. Saat itu jadwal pendidikan masih sangat ortodox, dimana siswa dipaksa mencatat, menghafal, berhitung dan mengerjakan soal.


Lima tahun berselang kemudian di Sekolah Menengah Pertama kelas satu, pertama kalinya diperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 (KBK). Kalau menyidik sejarah pendidikan, KBK adalah awal kekacauan pendidikan. Kurikulum sebelum-sebelumnya dibuat dengan contoh pelengkapan atau penyempurnaan kurikulum yang sudah ada, tetapi KBK adalah pengganti Kurikulum 1999. Perubahan fundamental ini bantu-membantu lantaran perubahan kiblat pendidikan Indonesia menjadi ke Barat-baratan (Amerika & Eropa).


Buku-buku pada KBK tidak berisi point-point penting pengetahuan, melainkan berisi pengantar untuk diskusi pengetahuan. Kaprikornus siswa dituntut untuk aktif dalam mencari ilmu pengetahuan itu sendiri.  Menurutku ini cantik dan menarik sebagai wacana, tetapi dalam praktik pendidikannya ternyata sangat sulit. Guru-guru yang sudah terbiasa mengajar dengan metode ketimuran, tidak bisa secara instant berubah haluan. Akhirnya banyak guru yang tidak bisa memberikan pokok ilmu pengetahuan lantaran gagal mengarahkan diskusi di kelas. Hasilnya? Entahlah! (Dan saya punya argument untuk kata “Entahlah” itu!)


Setelah KBK, di tahun 2006, dikala saya kelas 3 SMP, kurikulum berubah lagi. Tidak ada alasan pergantian kurikulum ini, tak seorangpun mengukur keberhasilan atau kegagalan sistem KBK, tetapi harus digantikan. Kali ini diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara umum saya masih tidak terlalu paham perbedaan dari KTSP dan KBK. Tetapi yang fundamental adalah bahwa KTSP mencoba mengarahkan pendidikan sebagai wewenang guru-guru daerahnya. Oleh lantaran itu silabus disusun oleh masing-masing guru di kawasan yang dikumpulkan. Dampak paling terasa dari KTSP adalah kepanikan guru-guru untuk membuat silabus sekolah setiap semesternya. Bagaimana efektifitas dari KTSP? Entahlah!


Agaknya budaya untuk mengganti kurikulum lima tahunan berusaha dipertahankan, pada 2013 kurikulum berubah lagi. Kali ini berjulukan Kurikulum 2013, tidak ada nama khusus lantaran agaknya semakin sulit membuat abreviasi kurikulum. Adakah studi kelayakan, kesuksesan atau kegagalan untuk KTSP? Tidak ada, tetapi bagaimanapun harus digantikan Kurikulum 2013. Ide dari kurikulum 2013 adalah untuk membuatkan nalar dan keterampilan siswa. Oleh lantaran itu pelajaran matematika dianggap sangat penting dan diberi jam lebih, sementara mata pelajaran lainnya menyerupai IPS, PKN dan Bahasa Indonesia dirampingkan.


Silih bergantinya kurikulum setiap 5 tahun ini menurutku berdampak sangat serius dalam sistem pendidikan kita. Pertama kali diperkenalkannya kurikulum baru, maka guru harus menyesuaikan metode pendidikannya. Untuk bisa mahir dalam mengajarkan kurikulum yang gres ini, guru harus berusaha dan berlatih setiap harinya, dan berdasarkan teori, dibutuhkan waktu 10.000 jam untuk mahir.


Jika guru berproses sangat cepat, sehingga dalam 5000 jam latihan mereka sudah menguasai kurikulum baru, artinya perlu waktu dua tahun lebih untuk bisa menguasai kurikulum baru. Kaprikornus guru gres bisa menerapkan sebuah kurikulum secara tepat sehabis kurun waktu dua tahun atau lebih. Setelah dua tahun berlatih untuk kurikulum baru, dua tahun berikutnya ia harus ganti kurikulum lagi, maka siklus pelatihan kurikulum gres itu berjalan terus dan terus.


Hasilnya? Guru terbebani oleh kurikulum yang berganti-ganti, sementara siswa kebingungan lantaran guru belum menguasai kurikulum yang baru. Konten ilmu pengetahuan di dalam pendidikan akan semakin jauh dan siswa semakin tertinggal. Sementara negara lain sudah sangat maju.


Berkaca pada Jepang, mereka gres mengupdate contoh pendidikannya sehabis 30 tahun. Artinya kemahiran guru mengajar sesuai dengan kurikulumnya telah mencapai level yang sangat tinggi (berpengalaman mengajar dengan kurikulum gres selama lebih dari 10.000 jam). Tetapi ini juga disebabkan lantaran pembentukan kurikulum dasar yang tepat! Simak pembentukan kurikulumnya di bawah!


 


Hipotesis Apa yang Diuji Kementerian Pendidikan?


Salah satu cerita paling sukses dalam dunia sains adalah penciptaan lampu oleh Thomas Alfa Edison. Ia berhasil membuat lampu sehabis 10.000 percobaan. Berbagai jenis material ia coba untuk menghasilkan nyala lampu pertama di dunia yang bisa bertahan lama, dan balasannya pada percobaan ke 10.000, ia berhasil. Metode penelitian yang dilakukan Edison ini adalah eksperiment berdasarkan hipotesis tertentu. Basis dari hipotesisnya adalah pengetahuan. Thomas Alfa Edison tidak menemukan filamen lampu yang terbuat dari karbon secara kebetulan atau percobaan acak. Tetapi ia mempelajari sifat dari element karbon sehingga bisa melihat keberhasilan dalam penggunaanya.


Sekarang bagaimana dengan kementerian pendidikan? Apa hipotesis yang diuji Kementerian Pendidikan semenjak 1999? Apa dasar dari hipotesisnya? Dan apa kesimpulannya?


Setelah melihat garis besar pendidikan di Indonesia, saya justeru merasa sebagai tikus percobaan di dalam laboraturium. Disuntik dengan metode dan materi sekolah, kemudian dilihat apa yang terjadi. Namun pada balasannya tidak ada yang perduli bila saja mati, mengalami gangguan pencernaan, keganjilan ataupun hidup sekalipun.


Berikutnya tikus lainnya masuk dan dilabeli Generasi Millenials, obat gres disuntikan. Pun tak ada yang perduli pada hasilnya.


Apakah percobaan ini dilakukan peneliti hanya untuk memakan dana eksperiment? Mungkin tidak, tapi entahlah.


 


Analisa dan Sintesa


Dalam pendidikan Jepang, salah satu hal yang paling populer adalah budaya makan siang-nya. Event makan siang di dalam pendidikan Jepang bukan sekedar rutinitas biasa. Dibalik konsep makan siang ini, terdapat pelajaran gizi dan kesehatan, sosial dan kemasyarakatan, tanggung jawab dan kedisiplinan. Lalu mengapa hingga seserius itu hanya untuk sebuah jadwal makan siang? Karena dalam penyusunan kurikulumnya memakai filsafat pendidikan ketimuran bahwa bukan hanya kecerdasan yang perlu dimiliki oleh anak tetapi juga perilaku emosional yang baik dan kesehatan fisik.


Ketika menyusun kurikulum pendidikannya, para pakar pendidikan di Jepang mempelajari gaya pendidikan yang sudah ada di masyarakatnya. Jepang telah mengenal pendidikan sekolah semenjak zaman samurai. Ketika pemerintahannya telah menjadi satu dan peperangan tak diharapkan lagi, samurai menyebar ke desa-desa (disebut ronin), lantaran kelas sosial mereka tidak bisa bertani maka di pedesaan mereka membuka sekolahan dan mengajar bawah umur petani. Inilah yang menjadi awal kemunculan sekolah-sekolah di Jepang.


Ahli pendidikan mereka mengamati dan menganalisa dari segi sejarah, budaya dan kebutuhan pendidikan masyarakatnya gres kemudian membuat kurikulum. Hasilnya adalah kurikulum yang final, tidak kedaluarsa sehabis 30 tahun dilaksanakan dan berhasil membawa tatanan masyarakat yang sangat maju.


Hal ini sebaliknya tidak terlihat dalam Kementerian Pendidikan di Indonesia. Perubahan perubahan yang dilakukan dalam sistem pendidikan kita, cenderung secara sederhana meniru pendidikan luar(read: Barat). Sehingga tujuan dan filsafat pendidikan di Indonesia kocar-kacir, tak berbentuk. Ketimuran ditinggalkan, kebarat-baratan setengah hati.


Sebagai misalnya saja dulu ketika peralihan dari kurikulum KBK ke KTSP, pelajaran matematika di level Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas masih merupakan penguasaan teknik perhitungan level tinggi. Ujian Nasional difokuskan pada kemampuan siswa memakai perhitungan level tinggi dengan cermat dan tepat. Model-model soalnya adalah hitungan dengan angka yang menyiksa otak, angka dibelakang koma dibiarkan menumpuk untuk dihitung, terkadang harus menuntaskan pengakaran pangkat tiga di dalam soalnya. Namun di tahun-tahun belakangan ini, kiblat pelajaran matematika telah berubah total, dikala ini, fokus pelajaran matematika adalah biar siswa bisa melaksanakan analisis dan penyelesaian masalah. Model soal pada ujian nasional lebih banyak membaca text (studi kasus). Namun perhitungannya memakai teknik yang sederhana namun aplikatif.


Jika kita membaca perubahan tersebut dan membandingkannya, maka akan memahami bahwa gaya pendidikan zaman dulu adalah sangat ketimuran. Model pendidikan yang menekan siswa biar bisa menguasai teknik-teknik perhitungan matematika level tinggi ini serupa dengan pendidikan yang ada di Jepang, China dan India. Sebaliknya, belakangan ini pendidikan matematika yang mengarahkan anak ke problem solving adalah gaya pendidikan Amerika dan Eropa.


Lebih Barat, Lebih Bagus dan Lebih Maju?


Loh.. Bagus donk kebarat-baratan, kita kan nggak boleh anti terhadap pengetahuan luar? Well.. Sepakat kalau gitu. Dalam hal sains dan teknologi, pengaplikasian secara pribadi memang merupakan jalan termudahnya. Namun tidak semuanya bisa pribadi dicontek! Apalagi untuk bidang pendidikan yang berkaitan dengan sosial dan budaya.


Contohnya begini, mesin cuci, vacum cleaner dan pemanas air merupakan teknologi yang bisa pribadi di copy-paste dari barat ke Indonesia. Namun untuk mesin pertanian tidak bisa semudah itu. Di Barat, petani memakai traktor, mesin penanam benih dan mesin panen untuk ladangnya. Ini tak bisa pribadi diterapkan di Indonesia, alasannya mesinnya terlalu besar! Kepemilikan lahan petani indoensia terlalu kecil sehingga mesin-mesin besar ini tidak bisa masuk ke lahan tanpa merusak lahan orang lain. Selain itu ada banyak lahan model senkedan yang konturnya tidak rata. Mesin-mesin pertanian tak bisa masuk ke lahan tanpa adanya adaptasi. Artinya latar belakang sosial dan budaya yang berbeda membuat penerapan suatu pengetahuan dari luar tidak lagi relevan.


Sama hal-nya dengan sistem pendididkan. Tidak akan bisa copy-paste pribadi jadi. Alangkah bijaknya bila kurikulum pendidikan kita dibuat dengan berdasarkan pada studi sejarah, sosial dan budaya masyarakat yang ada. Analisis kondisi masyarakat Indonesia dari dalam, teliti budaya, teliti pola sosial masyarakat, gres kemudian sintesis rumusan kurikulum yang paling sesuai.


Hal jelek yang juga harus dihadapi dengan sistem pendidikan yang terlalu barat (khususnya Amerika) adalah akan munculnya generasi yang sangat briliant dan sangat tak berkhasiat (read: useless). Saat ini mungkin semua setuju kalau Amerika masih menduduki puncak perekonomian dunia, artinya negaranya kaya raya! Tetapi dibalik itu masyarakatnya masih berbagai yang tidak punya kerjaan dan miskin. Ini menjadi informasi utama alasan Donald Trump menang di sana.


Pendidikan yang mengedepankan agar  bawah umur berfikir dan menjadi problem-solver (penyelesai masalah) biasanya mengesampingkan rutinitas pengerjaan soal yang sama. Ini pernah disampaikan oleh orang tuaku (guru SMP). Bahwa buku dan kurikulum terbaru di level Sekolah Menengah Pertama sudah sangat mengurangi latihan soal yang sama berulang ulang. Sangat berbeda dengan ketika saya SMP.


Di tahun 2003, mengerjakan soal matematika yang sama hingga 50x atau 100x sebelum ujian adalah hal yang sangat biasa (read:umum). Tetapi sepertinya dikala ini tidak begitu aktivitas sekolahnya. Anak diminta mengerjakan soal yang variatif dengan penyelesaian yang beragam. Bagi bawah umur cerdas, tentu ini sangat menyenangkan! Mereka bisa tergila-gila dengan soal yang menantang daya analisa dan sintesa menyerupai itu. Tetapi bagi anak yang kurang briliant, ini akan sangat sulit dicerna.


Jadi anak yang briliant akan semakin briliant lantaran bisa mengerjakan banyak variasi soal dan merumuskan banyak penyelesaian soal. Namun bagi anak dibawah rata-rata mereka tidak bisa memahami proses analisa dan sintesa. Sialnya mereka juga tidak melaksanakan latihan 50x atau 100x soal yang serupa.


Tidak melaksanakan latihan yang sama berulang-ulang artinya mereka tidak paham wacana penguasaan skill, tidak mengerti arti disiplin dan kerja keras. Gaya pendidikan Asia, menyerupai Jepang, memaksa anak untuk melaksanakan latihan soal hingga ratusan kali. Dampaknya adalah anak menjadi disiplin dan bisa mengerti arti dari kerja keras. Kehilangan pokok pendidikan wacana kerja keras dan latihan berulang-ulang ini menimbulkan anak jadi sangat tak berkhasiat (read useless).


Itulah yang terjadi di Amerika. Di tingkat atas mereka mempunyai orang yang super jenius dan cerdas, membuatkan teknologi masa depan dan mega bisnis. Namun disisi lainnya adalah orang yang tak bisa melaksanakan apapun dengan benar, lantaran tak mengerti disiplin dan kerja keras.


Orang-orang yang briliant menyerupai Steve Job, mengetahui dengan terperinci betapa buruknya kualitas pekerja kelas bawah di Amerika. Ia tetapkan untuk membuat seluruh pabrik Apple di China lantaran kualitas pekerja China yang jauh lebih baik. Dalam pertemuannya dengan Barrack Obama, Steve Jobe menyampaikan “Jobs aren’t coming back”.


Disisi lain, di negara Amerika sendiri, sudah berbagai pekerjaan professional diisi oleh pekerja asing, saintis berasal dari Yahudi dan China, dokternya dari India dan Pakistan, andal IT dari India.


Pada pada dasarnya adalah pendidikan Indonesia yang terlalu berkiblat ke Barat tentunya tidak sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat kita. Tidak perlu memaksakan kurikulum pendidikan kita biar menyerupai Barat, alasannya sistem pendidikan mereka juga tidak final dan bisa menjadikan permasalahan baru. Sebaliknya, pendidikan gaya ketimuran yang sudah menempel di Indonesia justeru bisa saja membawa perbaikan bangsa menyerupai misalnya Jepang. Point pentingnya adalah perumusan kurikulum pendidikan selayaknya mengedepankan aspek historis, budaya dan sosial masyarakat dibandingkan element luar.


Thanks for reading.

Silahkan diskusi di komentar. 😀



Sumber https://mystupidtheory.com