Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Sebuah film roman yang diangkat dari novel karya sastrawan populer Buya Hamka. Film ini dibentuk dengan suasana kisah menyerupai pada tahun 1930-an. Dalam film ini kita disuguhkan rangkaian kata-kata indah dari Sastrawan Buya Hamka yang bisa kita nikmati melalui aksara Zainuddin dan Hayati. Film ini mengisahkan perihal permasalahan akhlak dan cinta yang didominasi oleh latar belakang Minangkabau.
Kisah ini terjadi pada tahun 1930. Zainuddin seorang cowok Makassar yang ingin mengetahui kampung halaman ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. Ia juga berniat untuk mencar ilmu ilmu agama di sana. Diantara keindahan ranah negeri Minangkabau ia bertemu dengan seorang gadis Minang yang merupakan keturunan ningrat berjulukan Hayati. Gadis yang berparas anggun jelita, bunga dipersukuannya.
Zainuddin yang memendam perasaannya pada Hayati, seketika menjadi pujangga. Ia bisa memikat hati perempuan yang mempunyai kecantikan alami tersebut melalu rangkaian kata indah yang ia karang sendiri. Inlah cuplikannya:
Inilah diantaranya obrolan Zainudin dan Hayati:
Zainuddin: Maaf? Kau regas segenap pucuk pengharapanku. Kau patahkan. Kau minta maaf. Hayati: Sudah hilangkah perihal kita dari hatimu? Janganlah kamu jatuhkan hukuman, kasihanilah perempuan yang ditimpa tragedi alam berganti-ganti ini.
Zainuddin: Demikianlah perempuan, ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walau pun kecil dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya.
Zainuddin: Bukankah kamu yang telah berjanji dikala saya diusir oleh Ninik Mamakmu lantaran saya asalnya tidak tentu, orang hina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kamu antarkan saya di simpang jalan, kamu berjanji akan menunggu kedatanganku berapapun lamanya. Tapi kemudian kamu berpaling ke yang lebih gagah kaya raya, berbangsa, beradat , berlembaga, berketurunan, kamu kawin dengan dia. Kau sendiri yang bilang padaku bahwa janji nikah itu bukan terpaksa oleh paksaan orang lain tetapi pilihan hati kamu sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta Hayati… 2 bulan lamanya saya tergeletak di kawasan tidur, kamu jenguk saya dalam sakitku, memperlihatkan bahwa tangan kamu telah berinang, bahwa kamu telah jadi kepunyaan orang lain. Siapakah di antara kita yang kejam Hayati?
Zainuddin: Kau pilih kehidupan yang lebih senang, mentereng, cukup uang, berenang di dalam emas, bersayap uang kertas. Siapakah di antara kita yang kejam Hayati? Siapa yang telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan tetapi risikonya terbuang jauh ke Tanah Jawa ini. Hilang kampung dan halamannya sehingga beliau menjadi anak yang tertawa di muka ini tetapi menangis di belakang layar. Tidak Hayati, saya tidak kejam. Saya hanya menuruti katamu. Bukankah kamu yang meminta dalam suratmu agar cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja, diganti dengan persahabatan yang kekal. Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang. Kau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan istriku. Maka itu secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara saya akan kembali teguh memegang janjiku. Dalam persahabatan itu sebagaimana teguhku dahulu memegang cintaku. Itulah sebabnya dengan segenap ridho hati ini kamu ku bawa tinggal di rumahku. Untuk menunggu suamimu, tetapi kemudian bukan dirinya yang kembali pulang, tapi surat cerai dan kabar yang mengerikan. Maka itu sebagai seorang sahabat pula kamu akan ku lepas pulang ke kampungmu. Ke tanah asalmu, tanah Minangkabau yang kaya raya, yang beradat, berlembaga. Yang tak lapuk dihujan, tak lekang dipanas. Ongkos pulangmu akan saya beri. Demikian pula uang yang kamu perlukan. Dan bila saya masih hidup, sebelum kamu menerima suami lagi Insya Allah kehidupanmu selama di kampung akan saya bantu.
Hayati: Saya tidak akan pulang. Saya akan tetap di sini bersamamu. Biar saya kamu hinakan. Biar saya kamu pandang sebagai babu yang hina. Saya tak butuh uang berapa pun banyaknya. Saya butuh erat dengan kau, Zainuddin. Saya butuh erat dengan kau.
Zainuddin: Tidak. Pantang pisang berbuah dua kali. Pantang cowok makan sisa. Kau mesti pulang kembali ke kampungmu. Biarkan saya dalam keadaan begini. Jangan mau ditumpang hidup saya.
Bagian Akhir
Hayati yang dalam kilas insiden memang bersalah. Ia tak bisa berbuat banyak untuk meyakinkan hati Zainuddin bahwa hatinya masih menyayangi Zainuddin, tidak pernah berubah, gagal. Sia-sia. Lantas, keesokan harinya dengan diantar oleh Bang Muluk ke pelabuhan, tibalah mereka di samping kapal yang megah itu, Kapal Van Der Wijck. Namun, entah kenapa Hayati mempunyai firasat buruk, ia berucap ke Bang Muluk. “Bang, apa gerangan ini, serasa kaki tak mau menaiki kapal yang karamnya menyerupai akan tenggelam. Serasa kaki ini diam, lebih nyaman menapak di pijak bumi”. Namun, pada risikonya tak ada pilihan lain, naik lah ia ke kapal. Sebelum benar-benar pergi, Hayati memperlihatkan secarik kertas kepada Bang Muluk yang isinya kesungguhan , keteguhan dan konsistensi hatinya selama ini kepada Zainuddin. Hidupnya dicurahkan, mati pun ingin bersama Zainuddin.
Namun, takdir berkata lain. Firasat jelek Hayati terjadi. Kapal mengalami hambatan di tengah-tengah perjalanan. Kapal pun karam, korban berjatuhan ke laut. Begitupun Hayati, harapannya, impiannya, cita-citanya, cintanya, kenangannya.. tenggelam bersama Kapal Van Der Wijck. Takdir simpulan memberi menit-menit terakhir, mempertemukan kembali ‘janji’ kepada sang kekasih. Ia selamat. Namun sekarat.
Setibanya di rumah sakit, dokter tidak bisa menolong banyak buat Hayati lantaran peralatan yang tidak memadai. Di ambang kematiannya, Hayati lega, bahagia bisa bertemu untuk terakhir kalinya dengan Zainuddin. Orang yang sangat dicintainya, hidup dan matinya pun ingin terus bersamanya. Hayati minta dibacakan dua kalimat syahadat oleh Zainuddin. Sambil menangis, Zainuddin menuruti undangan Hayati. Dituntunnya berkali-kali Hayati untuk membaca dua kalimat syahadat. Hingga pada akhirnya, Hayati menutup mata untuk selamanya.
Hayati Tenggelam
_________________________________
Artikel Infotainment
Titanic 2 Siap Berlayar
Michael Jackson: We are the world
Via Vallen: Sayang
Abdul dan Maria Indonesian Idol 2018