Random post

Tuesday, October 30, 2018

√ Mengenal Stephen Hawking Dan Bertemu Sinta Yudisia Di Perjalanan

Mengawali pagi dengan takdir. Sebuah kebetulan yang sulit sekali ditentang, bahwasannya tiga alarm yang berdering tak satupun yang sanggup membuatku bangun. Aku terbangun jam 4.35, sempurna 5 menit sesudah waktu yang kutargetkan.


Pagi itu seharusnya saya sudah berada di Stasiun Kereta Kota Baru, Malang. Ini biar sanggup berangkat ke Surabaya alasannya yaitu harus mengurus visa keberangkatan ke Jepang untuk melanjutkan studi. Alhamdulillah setelah mengikuti ujian di Okayama University, saya dinyatakan lulus dan diterima. Oktober akan menjadi dongeng baru. Setidaknya begitu pikirku.


Tidak semua pikiran kita benar wacana sesuatu. Tentang dongeng dan jalan hidup ini. Kurasa ceritaku dimulai bahkan sebelum Oktober, itu yaitu hari ini.


Aku curiga, jika yang dikatakan seorang Pidi Baiq ada benarnya,


“Sesungguhnya masa depan itu tidak ada, nyatanya kita selalu berada di masa sekarang”


Karena terlambat bangun, maka saya berangkat ke stasiun jam 6 pagi, itu kutargetkan biar sanggup membeli tiket perjalanan dari Malang jam 7.06 ke Stasiun Gubeng, Surabaya jam 9.40 pagi. Setelah itu sanggup eksklusif mengurus visa pelajar di Konjen Jepang Surabaya.


Awalnya saya berniat mengambil perjalanan di pagi hari jadinya sanggup mendaftar Visa pada jam 8.15. Tapi ternyata kesiangan. Untungnya saja perjalanan kereta berikutnya masih memungkinkan untuk sanggup mendaftar visa jam 10.00.


Karena memesan tiket pagi itu juga, maka sanggup tiket berdiri, alasannya yaitu udah terbiasa dengan perjalanan berdiri selama 3 jam, maka saya sih santai aja.


Entah perasaan atau harapan, tapi saya kepikiran untuk bertemu dengan orang yang kukenal. Mungkin itu cita-cita saja, berharap ketemu orang yang kami sanggup mengobrol bersama. Tetapi selama perjalanan saya hanya sanggup berdiri dan menikmati gagasan-gagasan Stephen Hawking melalui Black Holes And Baby Universe. Buku yang kubeli beberapa hari kemudian di Wilis, toko buku bekas di Malang.


Gagasan-gagasan yang ada dalam buku tersebut memang menakjubkan, beberapa klarifikasi Hawking memang mempermudah untuk memahami apa bahwasanya Ruang dan Waktu yang telah dikemukakan Einstein, 1915. Namun di banyak masalah saya tidak begitu memahami beberapa bab, itu alasannya yaitu kajiannya fisika teoritis yang menurutku sangat kompleks dan rumit.


Dibalik kebingunganku akan beberapa penjelasannya, saya memahami bahwa Hawking benar-benar ilmuwan yang punya pengetahuan sangat memadai untuk disebut sebagai Ilmuwan Paling Cemerlang semenjak Einstein. Mengagumkan sekali membaca uraiannya wacana teori kuantum yang dipelajari dalam kajian sains yang sangat kecil seperi kuark, elektron, proton dan atom sampai teori ruang dan waktu yang dipelajari dalam kajian sains alam semesta dan jagat raya yang sangat luas.


Ngomong-ngomong, Stephen Hawking menjadi semakin cemerlang ketika ia bertemu Jane dan menikah (bersamaan dengan sesudah ia mengidap ALS). Makara apa saya harus mengikuti jejaknya untuk menikah? Aku tak berani menjawab.


Kalau beberapa hari kemudian saya membaca di blog bahwa Einstein juga mengalami masa cemerlang itu hanya sesudah ia mengambil Post Doctoral-nya, sedangkan Hawking menjadi semakin mantap sebagai ilmuwan teoritis pada dikala sesudah menikah, maka keduanya ada pada kisaran usia 23-25 tahun. Artinya alasannya yaitu usiaku kini 23 tahun, ini sanggup ku capai juga!


Keduanya juga mengalami hal tersebut secara tiba-tiba, atau revolusioner. Ini menyerupai ada tombol switch yang ditekan untuk menciptakan mereka bersinar. Kalau Einstein mungkin tombol switch itu pada dikala studi Post Doctoralnya, sedangkan Hawking sanggup jadi dikala menikah. Mungkin saja saya sanggup bersinar menyerupai mereka, sanggup jadi kepergianku ke Jepang nanti merupakan momen ketika tombol switch-ku ditekan, atau mungkin harus menunggu saya menikah dulu? (eww… obsesi jombloo). Tapi wacana nasib, biarlah ruang dan waktu yang menjawab.


Sampai di Surabaya, saya eksklusif menuju ke Konjen Jepang. Setelah menyapa satpam Konjen yang ternyata masih mengenaliku, bahkan dia kenal secara spesifik (karena sebelumnya kami ngobrol tidak mengecewakan banyak), alhasil saya masuk ke pecahan registrasi visa.


Aku sudah mempersiapkan semuanya. Sehingga semua persyaratan eksklusif lengkap dan Ok. Setelah mendapat nota pengambilan Visa dari loket, saya berbalik dan akan pulang. Tetapi ketika berbalik ada dua orang berjilbab yang salah satu wajahnya kukenali.


Saat itu saya sedikit ragu (aku sering salah orang) tapi dikala itu saya eksklusif panggil aja, kalaupun nanti salah orang, saya kan mau ke Jepang, jauh dari Indonesia, jadi nggak perlu aib ke siapa-siapa, begitu pikirku.


“Mbak Sinta?”


Dia noleh, tentu saja dengan tatapan bingung.


“Ini Mahfuzh Mbak” dengan responnya yang noleh itu, saya mengkonfirmasi jika nama yang kusebutkan benar, ditambah lagi dia benar-benar tidak mengenaliku, itu lebih memastikan jika ini Mbak Sinta Yudisia yang populer itu.


“Ohh.. Mahfuzh..”

“Iya Mbak yang di blogger FLP juga”

“Wahh.. Ketemu disini.. Nanti kita foto yah..”


Pernah nggak kalian kepikiran gini. Ketemu emm.. .. Sapa ya? Ariel, shh udah nggak populer sih.. yang lain, emm.. Jokowi.. Ehh banyak yg benci sih.. Sapa yah? Ketemu ini dehh Sule.. Tuhh.. Kan keren yak? Terus Sule minta foto bareng  kamu! Nahh kurang seneng gimana cobak! Yak baiklah lahh..


Walaupun saya tidak banyak (atau tidak ada yah?:) membaca buku Mbak Sinta tapi belakangan saya baca blog beliau. Sejujurnya kesan pertama ketemu blognya yaitu tampilannya menyakiti mata saya. (Hehe sory Mbak Sinta). Aku termasuk yang rewel banget persoalan tampilan blog. Aku lebih sering meninggalkan blog sebelum membacanya hanya alasannya yaitu tampilannya menyedihkan. Tetapi alasannya yaitu penulisnya ialah Mbak Sinta yang ketu FLP maka saya baca blognya www.sintayudisia.wordpress.com


Isinya sesuai dugaan “worth to read, worth to share” keren lah.. Asiknya jika baca blog, itu sering kali lebih jujur wacana kehidupan dan pengalaman pemiliknya. Tidak perlu mendesain yang marketable atau indah banget, cukup goresan pena santai yang menyenangkan dan bermanfaat. Makara isi blog itu menurutku lebih menggambarkan keseharian seorang Sinta Yudisia yang penulis itu. Intinya ini yaitu pembenaran alasannya yaitu baca blog Mbak Sinta itu gratisan, tapi bukunya belii.. Dasar otak mahasiswa!


Mbak Sinta sedang mengurus Visa kunjungan ke Jepang, dia ada ajakan dari pemerintah tempat Karatsu, Fukuoka. Project menulis wacana kisah heroik da’wah dan pembangunan Masjid disana. Keren banget yak? Kapan seorang Mahfuzh tnt akan bersinar menyerupai itu.. 🙂 #harapan


Eniway Mbak Sinta share dongeng serunya selama di Jepang lho.. Cek aja deh di blognya: www.sintayudisia.wordpress.com



 Sebuah kebetulan yang sulit sekali ditentang √ Mengenal Stephen Hawking dan Bertemu Sinta Yudisia di Perjalanan

Setelah selesai urusan di konjen Jepang saya diajak makan-makan. Karena tempatnya agak jauh, Mbak Sinta mengkhawatirkan saya yang jalan kaki. Padahal beneran dehh.. Aku sudah kelilingin komplek perhotelan dan kantor-kantor elite di Gubeng ini setidaknya dua kali. Benar-benar mengelilingi total. Itu dikala saya mengurus visa pertama kali (sekitar sebulan yang lalu)


Kami berhenti untuk makan, dan bercerita banyak. Sangat menarik sharing ilmu dengan Mbak Sinta, menyenangkan alasannya yaitu sudah menyerupai teman akrab, padahal gres sekali ini bertemu.


Aku mengawali goresan pena kali ini dengan berbicara wacana takdir. Bagiamana jika saya sempurna waktu? tentu saja tidak akan bertemu Mbak Sinta. Bagaimana jika Mbak Sinta telat 2 menit saja masuk ke Konjen Jepang? Aku niscaya sudah pulang. Mungkin ini yang disebut dengan waktu.


Kalau kata Stephen Hawking (yang dia ambil dari ajaran Einstein) itulah fenomena ruang-waktu. Ruang tidak akan pernah terpisahkan oleh waktu. Setiap bencana merupakan titik temu antara waktu dan ruang. Kejadian pertemuanku dengan Mbak Sinta merupakan kombinasi ketepanan waktu ketika saya berada di ruang Konjen dan waktu ketika Mbak Sinta ada di ruang Konjen.


Ketepatan ini mungkin dimata orang lain ialah kebetulan (bahkan banyak orang menyampaikan “wahh.. kebetulan”). Padahal berdasarkan Einstein “Tuhan tidak sedang bermain dadu” setiap bencana mempunyai tujuan, sehingga tidak akan ada lagi kalimat “Wahh.. Kebetulan ketemu disini” tetapi lebih kepada “Wahh.. Kehendak ilahi kita bertemu disini”.



Salah satu gagasan Einstein yang ditolak oleh Hawking ialah wacana “Tuhan tidak bermain dadu”. Menurut Hawking, kenyataanya Tuhan tetap bermain dadu (ini alasannya yaitu konsep Hawking wacana ketuhanan ialah sangat terbatas pada model manusia). Tetapi berdasarkan teori kucing hitam fisika yang dikatakan Schrodinger maka peluang untuk bertemunya seseorang di satu ruang dan waktu tertentu ialah satu berbanding tak terhingga.


Tahukah kalian seberapa kecilnya itu? Itu sanggup dikatakan tak mungkin. Maka menurutku pendapat Einstein lebih baik dalam menggambarkan hal ini. Kejadian dengan peluang yang sangat kecil itu tak mungkin terjadi hanya atas azas kebetulan, tetapi alasannya yaitu kehendak tuhanlah. Ada energi Mahabesar yang mendukung bencana tersebut. Itu yaitu Tuhan.



Mungkin goresan pena ini banyak salahnya, bahkan ngaco-nya. Biarlah begitu, sebagai penanda saya belajar.





Sumber https://mystupidtheory.com