Random post

Monday, February 18, 2019

√ Bius Untuk Kurban


Malam Takbiran. Ini Idul Adha yang kedua kalinya saya tetap tinggal di Malang. Ada rasa rindu yang banyak, rindu pada keluarga. Malam ini saya akan menuju kampus, bukan untuk kuliah, tapi untuk berangkat ke lokasi pembunuhan binatang Kurban. Ini program kurban kami laksanakan di desa, desa di wilayah malang selatan, pelosok, bahkan ini desa yang Ndeso!




Aku ke kampus dengan sepeda motor, itu sebab kami terlambat. Kami terpaksa gonceng tiga di satu motor, itu melanggar peraturan, tapi sekaligus menghemat energi. Di perjalanan kami melihat ambulan lewat.


“Wahh ada kecelakaan yahh?” itu temanku yang nanya


“Nggak, itu paling sapi yang di ambulan” Asal kujawab


“Ngapain sapinya?”


“Ya kecelakaan lahh..” Masih asal


“Masa’ ada yang nabrak sapi?”


“Itu sapi kecelakaan, mungkin nggak sengaja dipotong malam ini, padahal belum masuk hari raya kurban” mulai Serius aku.


“Jadi dibawa ke rumah sakit?” temanku melayani kobodohanku.



“Iya, itu dirawat di rumah sakit, bila sanggup bertahan hingga besok gres di potong lagi buat kurban” saya menerangkan



“Gendeng!” balasan yang Tragis, Mengenaskan.




Tak berapa usang saya datang di tujuan, kampus Brawijaya di Fakultas Pertanian. Banyak sekali teman, sudah menungguku disana, saya turun dan bergabung dengan roombongan. 




Malam itu saya dengar kumandang takbir, dari sela jendela mobil, itu posisi yang enak, sebab saya duduk di kawasan yang menyenangkan. Aku menikmatinya, mengikuti alunan takbir di malam yang Istimewa ini. Bersama rombongan orang-orang yang istimewa ini. Keluarga, saya mulai sadar sungguh banyak saudaraku disini. Allah Maha Besar!




Itu kondisi jalanan memburuk, macet total dan saya masih terjebak dalam mobil.  Macet sebab ini malam takbiran, tapi aneh, sungguh aneh, sebab tak terdengar bunyi takbir di jalanan ini. Aku lihat beberapa kendaraan beroda empat kemudian lalang, beberapa motor menyusul, dan lihatlah dipiinggir jalan orang-orang memarkir motornya, duduk disitu dan menciptakan jalan sempit. Apa mereka tak sadar? ahh.. Berandal..




Masih macet yang menyusahkan, dan telah datang saatnya. Itu ialah ketika saya harus bergantian kawasan duduk dengan temanku. Ya, saya telah berjanji akan bergantian kawasan duduk dengannya, kasihan dia, harus duduk di atas kardus, dengan posisi kaki terlipat. Itu kendaraan beroda empat Elf yang kami gunakan. Dan total penumpang yang naik ialah 25 orang, jumlah yang mengenaskan. Aku duduk di kardus, kakiku terlipat, wajahku menghadap jendela dan tanganku menyangga tubuhku. Sekitar 20menit diposisi itu dan kakiku mati rasa, benar-benar tak ada rasanya, saya coba cubit-cubit kakiku, sudah sapai merah kulitku, tapi tak terasa apapun, Ini bius instan!! Macet itu betah di jalan ini, hingga dua jam tetap macet. Malam ini saya akan puas mencicipi bius di kakiku.




Menuju desa semakin dekat. Itu hutan, wilayah yang ditutupi pepohonan. Aku mengeluarkan mataku lewat jendela yang diikuti dengan suluruh kepalaku. Sebenarnya dari tadi saya ingin mengeluarkan kepalaku dari jendela semoga sanggup angin segar, tapi dikota banyak polisi, akibatnya saya takut. Aku takut ditangkap polisi sebab tertangkap berair tidak pakai helm. Jalanan di depan semakin mengenaskan, jalanan tanah yang rusak. Mobil kami terguncang, itu menciptakan belum dewasa berteriak sambil tertawa, tapi sungguh saya menderita ketika itu. Guncangan kendaraan beroda empat itu menciptakan kakiku terhantam serpihan bawah pintu mobil, itu menyerupai mencicipi seluruh penderitaan yang dialami kakiku ketika bius habis. Rasanya ditusuk-tusuk jarum, kemdian ngilu menyerupai disuntikkan zat perusakpada sel syarafmu. Argghh.. Itu menyiksa, tapi saya gengsi untuk teriak.




Kulihat lampu-lampu mulai ada, kami sampai. Ngiluku hilang, kakiku sehat, mataku berbinar, ada banyak jajanan dari orang desa. Aku sambut semua jamuan dengan ekspresi terbuka. Alhamdulillah.. Kami Tiba.




November yang panas, ada mendung tapi tak hujan.


@kampus Brawijaya yang Banjir sebagian


Mahfuzh TnT


Sumber https://mystupidtheory.com