Hi All… Salam semuanya. Kali ini mystupidtheory.com akan sharing ceritaku. Jujur saja, ini mungkin berisi keluhan dan rasa ketidak nyamanan-ku terhadap sistem birokrasi di mantan kampusku. Aku alumni Universitas Brawijaya.
Hari ini untuk beberapa keperluan, saya harus mengurus legalisir ijazah dan transkrip nilai kuliahku. Berhubungan dengan itu, saya harus mengurus birokrasi di kantor kurikulum kampus.
Ada beberapa hal yang kurang mengenakkan dalam hal melegalisir ijazah ini. Ketika pertama kali masuk ke ruangan maka saya bisa dengan terang melihat prosedur legalisir ijazah, dan satu hal yang membuatku tak nyaman ialah “MEMBAYAR”.
Membayar Untuk Sebuah Legalisir?
Aku nggak tahu gimana di kampus-kampus negeri lainnya, tetapi menurutku membayar hanya untuk sebuah legalisir Ijazah ialah keterlaluan. Kalian boleh bilang saya pelit, atau miskin sekalipun, saya tidak terlalu perduli.
Kerumitan Birokrasi Indonesia |
Begini masalahnya, yang diharapkan untuk melegalisir ijazah ialah stempel dan paraf dari dekan yang menjabat. Artinya, petugas tata perjuangan dan Pak Dekan ada, maka proses ini akan sangat praktis dan cepat. Kalau menandatangani sebuah dokumen itu termasuk dalam kiprah Pak Dekan dan menyetempel dokumen itu juga bab dari kiprah tata usaha, maka kenapa harus membayar lagi utuk layanan yang seharusnya mereka berikan?
Tentu saja, kebijakan membayar untuk sebuah legalisir ini bukanlah kebijakan Pak Dekan ataupun pegawai tata usaha, entahlah siapa yang mempunyai andil atas kebijakan ini.
Tarif legalisir di Universitas Brawijaya perlembarnya ialah Rp 1000,- dan maksimal undangan legalisir ialah 20 lembar, ini ialah jumlah yang kecil, sangat kecil. Maksudku, apa UB benar-benar butuh uang seribuan hingga dua puluh ribuan itu?
Sekali lagi, kalian boleh panggil saya pelit atau apalah. Tapi jikalau memang UB membutuhkan dana recenah itu, saya tidak terlalu keberatan dengan dua puluh ribuan yang harus dibayar itu. Tapi ada satu hal yang membuatku protes, prosedur pembayarannya. Untuk mendapat legalisir itu, kita harus mentransfer dana ke rekening rektorat UB. Ini sangat tidak efisien dan membuang-buang waktu.
Jadi pertama kita akan ke ruang kurikulum/tata usaha, sesudah itu kita mencatat rekening rektorat, sesudah mencatat nomor rekening tersebut, kita harus mencari atm terlebih dahulu, kemudian mentransfer dananya. Setelah itu gres kita kembali membawa bukti transfer dan fotocopy dokumen yang akan dilegalisir. Nah barulah dokumen kita diproses. Menyita waktu kan?
Kalau memang butuh duit recehan itu, kenapa tidak membuatnya lebih praktis dengan membayar di ruang kurikulum/tata perjuangan saja? Sehingga hanya dengan tiba ke ruang tata usaha, seluruh proses akan selesai. Itu menghemat waktu dan biaya bensin kan?
Setelah membayar dan menyerahkan bukti transfer, kita akan mendapat struk pengambilan dokumen. Awalnya saat kutanyakan, proses ini memakan waktu satu hari. Struk yang kuterima juga menawarkan tanggal pengambilan esok hari, jadi mungkin prosesnya memang satu hari, alasannya ialah menunggu tanda tangan dekan yang sibuk itu.
Proses Penandatangan oleh Pejabat Kampus
Esok harinya, saat kutanyakan, ternyata dokumenku belum selesai dilegalisir, sementara saya benar-benar butuh dokumen terlegalisir hari ini juga. Tidak boleh lebih!
Karena saya benar-benar membutuhkan dokumen tersebut, maka kutanyakan pada petugasnya
“Kok bisa belum Pak? Kenapa usang prosesnya?”
Petugas tersebut cukup baik dan ramah menjawabnya
“Iya Mas, maaf ini dokumennya sudah ada di ruang dekan fakultas, tetapi belum sanggup tandatangan Pak Dekan”
“Nggak bisa dimintakan kini Pak? kan Pak Dekan ada di ruanganya?” Sebelum masuk tadi saya memang sempat melihat Dekan
“Waduhh.. Saya nggak berani Mas, biasanya nunggu aja”
Percakapan berakhir.
Bisa dibilang saya cukup puas dengan pelayanan pegawai tata perjuangan itu, dia bisa melayani dengan senyum dan ramah. Tapi kalian tahu kan, kalau senyum dan keramahan itu tidak menuntaskan dokumenku?
Kemudian saya berinisiatif untuk nekat masuk saja ke ruang Dekan. Aku harus minta ia untuk tanda tangan sekarang!
Ya! Cuma itu pilihannya.
Aku eksklusif menunggu di depan ruangan Dekan, alasannya ialah ia tampaknya sedang ada tamu. Kutunggu mungkin nyaris satu jam, hingga tamunya keluar. Saat itu Pak Dekan akan eksklusif keluar, mungkin ada urusan.
Spontan saya tawarkan jabat tangan ke beliau. Aku tunduk dan menjabat tangan beliau, ia tersenyum ramah.
“Bisa minta waktunya tiga menit saja Pak? Saya ini Mahfuzh, alumni MIPA Brawijaya Pak”
“Oh.. Iya Mas, ada apa ya?”
“Gini Pak, saya sangat membutuhkan dokumen saya yang terlegalisir untuk keperluan studi, apa bisa minta untuk ditandatangani sekarang?”
“Ooh.. Iya mas, iya.. ayok ke ruangan saya.. Maaf yah, saya ada banyak urusan jadi belum sempat menandatangani”
“Saya juga minta maaf Pak, alasannya ialah mendadak begini”
“Oh.. Iya mas, nggak papa, biasanya saya tandatangani eksklusif kok, beberapa hari ini aja agak sibuk”
Setelah beberapa percakapan ringan, Alhamdulillah sudah sanggup paraf dari beliau. Pak Dekan ini sangat ramah dan baik hati orangnya. Setelah mendapat tanda tangan Pak Dekan, saya tinggal minta stempel ke tata usaha. “ahh.. gampanglah” Pikirku.
Mengejar-ngejar Tukang Stempel
Ketika hingga di ruang tata usaha, petugas stempel sedang tidak ada di tempat. Dhuarrr. Kekacauan macam apa lagi ini? Saat itu, alasannya ialah kukira petugas mungkin sedang ada urusan di gedung lain, maka saya keliling mencari beliau. Ya Keliling! Apa lagi yang mungkin kulakukan? Setelah membuang-buang waktu 30 menit mencari petugas stempel, saya tetap tidak menemukannya. Siall.
Akhirnya saya kembali ke ruang tata usaha. Hanya ada satu orang ibu-ibu di ruangan tersebut. Ibu-ibu itu tampaknya sangat sibuk, sibuk oleh telepon yang memanggil-manggilnya, sibuk oleh tumpukan dokumen di depannya, dan sibuk oleh windows 8 dihadapannya.
Saat itu, rasa sungkanku harus dikalahkan. Aku harus logis! Tanyak ke beliau, atau minta tolong ke beliau. Toh menyetempel dokumen tidak perlu skill khusus kan?
Akhirnya dari berinteraksi dengan ibu-ibu tata perjuangan tersebut saya tahu kalau pegawai yang tugasnya menyetempel sedang pergi mengantar mahasiswa KKN. Kebayang kan kalau saya haru nungguin terus? Dan Ibu tersebut dengan baik hati mau membantu menyetempel dokumenku. Sejujurnya, jikalau ia tidak mau, saya akan setempel sendiri, kurasa self service juga nggak papa, yang penting cepet!
Dari awal proses hingga selesai, bahu-membahu saya sanggup pelayanan yang ramah dan baik dari semua petugas, bahkan Pak Dekan. Tetapi tetap saja itu tidak menghapus catatan bahwa saya harus modar mandir sendiri, mengejar-ngerjar dan menunggu orang-orang ini sendiri, dan itu menyedihkan.
Hikmah
Bukan siapa sihh yang salah, tapi apa yang salah dengan sistem birokrasi ini? Kenapa tidak bisa praktis dan cepat? Jika sistemnya bisa cepat, setiap orang tidak akan kelelahan dan kehabisan waktu hanya untuk urusan sepele semacam ini. Iya kan? Ahh.. Entahlah..
Jika berurusan dengan birokrasi, jangan sungkan untuk bertanya, meminta tolong, bahkan memaksa jikalau perlu. Jika memungkinkan untuk menuntaskan satu proses dengan tangan sendiri, maka lakukan saja kini juga! Jangan takut, aib ataupun malas. Sungguh dalam birokrasi kita, pekerjaan lima menit menjadi dua hari, sehari menjadi lima hari dan seminggu menjadi dua bulan, jadi jangan cuma menunggu!
Sumber https://mystupidtheory.com