Random post

Saturday, September 29, 2018

√ Media Kehilangan Kompas

Minggu pertama puasa, Indonesia dihebohkan oleh perkara razia satpol PP yang menangkap berair ibu-ibu penjual warung yang nekat berjualan di bulan Ramadhan. Kasus ini bukan sesuatu yang spesial, cuma pelanggaran biasa. Cuma warung kecil yang nekat melanggar perda, tidak ada bedanya dengan penertiban pedagang kaki lima yang merusak keindahan kota.


Tapi ditangan media abal-abal, ini dijadikan sinetron beberapa episode. Diambil sudut pandang dimana seakan-akan ummat islam yang lebih banyak didominasi sedang menindas orang-orang yang tidak berpuasa. Sinetron dimana peraturan tempat yang menciptakan orang islam(yang mayoritas) merasa nyaman dibenturkan dengan isu kemanusiaan. Dimintailah pendapat dari orang-orang yang nggak kompeten, nggak punya kompetensi di bidang hukum, islam ataupun perundang-undangan.


Melihat tingkah media yang amburadul ini, jawaban dari masyarakat beragam. Banyak sekali yang ingin ujuk gigi bahwa mereka yang paling toleran, mereka yang paling baik, padahal malah sedang merusak kemaslahatan ummat islam yang mayoritas. Bahkan yang sering sekali berkutbah ihwal kemaslahatan ummat kini berbalik menyerang peraturan yang menciptakan ummat maslahat ini.


Persoalannya ialah alasannya yaitu penggiringan opini di media.


Karena kejadian ini, saya jadi teringat sebuah buku yang pernah saya baca. Itu sekitar tahun 2014, saya lagi di rumah (di kalimantan) kemudian menemukan buku berjudul “Mencetak Kader” yang berisi ihwal perjalanan hidup Ustadz Abdullah Said. Pendiri Pesantren Hidayatullah.


 Indonesia dihebohkan oleh perkara razia satpol PP yang menangkap berair ibu √ Media Kehilangan Kompas
Mencetak kader

Buku “Mencetak Kader” ini berisi usaha awal dia dalam membangun Pesantren Hidayatullah. Di awal-awal pembentukannya, dia beserta para p0juang islam lainnya menerima berbagai cobaan, ujian dan kesulitan.


Dalam buku tersebut disebutkan bahwa dia yaitu orang yang sangat “haus” ilmu. Setiap kali ada perjalanan ke pulau Jawa, yang paling ingin ia singgahi ialah toko buku, dan selalu belanja buku. Beliau membaca buku-buku baik itu ihwal keislaman, pengetahuan umum dan psikologi. Beliau tak hanya mengoleksi buku-buku dari dalam negeri namun juga buku-buku luar negeri.


Dari membaca banyak buku inilah beluau memahami bahwa perubahan besar sanggup dilakukan jikalau kita mempunyai media. Karena media yaitu alat utama dalam memperoleh pertolongan masyarakat. Bayangkan jikalau setiap orang yang berpendidikan dan gemar membaca mendukung usaha Islam! Pastilah makmur ummat islam di Indonesia ini. Itulah yang ada di pikiran beliau.


Kemudian pada datanglah fasa dimana Pesantren Hidayatullah mulai stabil. Dan dikala mulai stabil itu, hal pertama yang ingin dibangun oleh Ustadz Abdullah Said ialah media Islam.


Dari buah pikiran Ustadz Abdullah Said inilah berdiri Majalah Hidayatullah. Majalah yang menaungi ummat Islam dari pembodohan dan perusakan susila bangsa. Dari awal berdirinya, Hidayatullah meliput kegiatan-kegiatan dan perkembangan islam di tanah air. Bahkan liputan rutinnya ialah ihwal usaha da’i-da’i di pelosok negeri.


Jujur saja saya nggak benar-benar membaca goresan pena di majalah Hidayatullah. Tetapi alasannya yaitu orang tuaku berlangganan Hidayatullah, maka ada tiga ulasan yang cukup sering kubaca di Hidayatullah: ulasan sains dan ulasan mengenai Islam di potongan bumi lain dan mengenai usaha para da’i di pelosok negeri.


Saat ini Hidayatullah telah merambah dunia online dengan Hidayatullah.com. Menurutku ini perkembangan yang luar biasa, belum lagi sudah ada app handphone-nya. Luar biasa kan?


Dan dari semuanya itu, yang paling luar biasa lagi ialah, bahwa Hidayatullah.com tidak memakai adsense di laman webnya. Iklan-iklan yang ditampilkan oleh Hidayatullah ialah iklan lansung, masih memakai metode yang sama ibarat iklan pada majalah (hardcopy). Kalau berbicara dunia bisnis, sudah sanggup dipastikan kalau laba metode periklanan ibarat ini niscaya kurang menguntungkan, jikalau dibandingkan dengan penggunaan Google Adsense.


Kompas, detik, dan liputan6 memakai Google Adsense sebagai sumber pendapatan periklanannya. Yang paling menarik dari Google Adsense ialah, besarnya pendapatan akan sebanding dengan jumlah pembaca media tersebut secara langsung. Inilah yang mendorong media-media berusaha menciptakan pemberitaan yang “beda” sehingga banyak pengunjungnya. Yah, sekali lagi, pengunjung berarti uang.


Sedangkan sistem periklanan yang ada di Hidayatullah.com sanggup kita lihat sendiri, didominasi oleh iklan ihwal “Sedekah” dan iklan lainnya yang bekerjasama dengan buku-buku, islam dan sunnah(obat-obatan herbal). Artinya iklan jenis ini memperlihatkan pemasukan menurut kontrak bisnis, bukan lagi menurut jumlah pembaca secara langsung. Dengan begitu, Hidayatullah tidak perlu menciptakan gosip palsu, alasannya yaitu mereka nggak perlu sebuah gosip yang booming, mereka hanya perlu meningkatkan reputasinya perlahan dengan berita-berita dan ulasan yang berbobot.


Selain mengandalkan iklan, majalah Hidayatullah juga menciptakan bisnisnya sendiri dengan menciptakan online shop (store). Dua online store yang menjadi fokusnya ialah penjualan baju/ distro dan penjualan buku-buku islami.


Di selesai postingan ini saya cuma berharap bahwasannya masyarakat Indonesia sanggup lebih bijak dalam melihat media. Walaupun setiap hari kita dijejali banyak gosip di FB, ada baiknya untuk tetap selektif dan mengedepankan unsur logis dan fatwa sebelum memutuskan untuk nge-share atau setuju dengan suatu berita.


Thanks for reading.



Sumber https://mystupidtheory.com