Random post

Monday, July 30, 2018

√ Bahan Sejarah Sma - Pedagang, Penguasa Dan Pujangga Pada Kurun Klasik (Hindu-Buddha) (3/3)

Kerajaan Mataram Kuno

Info lebih lengkap wacana Kerajaan Mataram Kuno: Kerajaan Mataram Kuno
Pada pertengahan era ke-8 di Jawa belahan tengah berdiri sebuah kerajaan baru. Kerajaan itu kita kenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Mengenai letak dan sentra Kerajaan Mataram Kuno tepatnya belum sanggup dipastikan. Ada yang menyebutkan sentra kerajaan di Medang dan terletak di Poh Pitu. Sementara itu letak Poh Pitu hingga kini belum jelas. Keberadaan lokasi kerajaan itu sanggup diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungaisungai. Di sebelah utara ter sanggup Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro; di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, contohnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan Bengawan Solo. Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu hingga sekitar Prambanan.

Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno sanggup dipakai sumber yang berupa prasasti. Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari informasi Cina.

Perkembangan Pemerintahan
Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja berjulukan Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya yaitu putra Sanaha, saudara perempuan dari Sanna.

Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa belahan tengah. Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.

Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna. Sanjaya kemudian melaksanakan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.

Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan mempunyai pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya. Oleh lantaran itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi kondusif dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting yaitu pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci. Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.

Sete lah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya berjulukan Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memperlihatkan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran kemudian memindahkan sentra pemerintahannya ke arah timur.

Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra. Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.

Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul problem dalam keluarga Syailendra, lantaran adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa).Hal ini menjadikan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di tempat Jawa belahan utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di tempat Jawa belahan selatan. Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa belahan utara. Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo. Kompleks Candi Dieng menggunakan namanama tokoh wayang mirip Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.

Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi mirip Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan. 

Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu kesudahannya bersatu kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.

Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang berjulukan Balaputradewa memperlihatkan perilaku menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang kudeta antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa membuat benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini kini kira kenal dengan Candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Mataram Kuno wilayahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja yang terbesar. Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu. Pada pemerintahan Balitung bidangbidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaan mengalami kemajuan. Ia telah membangun Candi Prambanan sebagai candi yang bagus dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.

 Info lebih lengkap wacana Kerajaan Mataram Kuno √ Materi Sejarah Sekolah Menengan Atas - Pedagang, Penguasa dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha) (3/3)

Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Raja yang berkuasa sesudah Balitung yaitu Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang mengakibatkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya petaka dan ancaman dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.

Kekuasaan Dinasti Isyana
Pertentangan di antara keluarga Mataram, sepertinya terus berlangsung hingga masa pemerintahan Mpu Sindok pada tahun 929 M. Pertikaian yang tidak pernah berhenti mengakibatkan Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti gres yaitu Dinasti Isyanawangsa. Di samping lantaran kontradiksi keluarga, pemindahan sentra kerajaan juga dikarenakan kerajaan mengalami kehancuran jawaban letusan Gunung Merapi. Berdasarkan prasasti, sentra pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak Tamwlang diperkirakan dekat Jombang, alasannya yaitu di Jombang masih ada desa yang namanya mirip, yakni desa Tambelang. Daerah kekuasaannya mencakup Jawa belahan timur, Jawa belahan tengah, dan Bali.

Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya berjulukan Sri Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah putra yang berjulukan Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta menggantikan ibunya. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa Tguh yang memeluk agama Hindu aliran Waisya. Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno. Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhtah ia digantikan oleh Raja Airlangga, yang dikala itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan Dharmawangsa mengakibatkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup bersama pendeta sambil mendalami agama. Airlangga kemudian dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja. Begitulah kehidupan agama pada masa Mataram Kuno. Meskipun mereka berbeda aliran dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang ada.

Setelah dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan. Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, mencakup seluruh Jawa Timur. Airlangga kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.

Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan, kemudian hidup sebagai pertapa dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra). Menjelang final pemerintahannya Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya TunggaDewi. Namun, putrinya itu menolak dan menentukan untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri.

Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan. Kerajaan itu yaitu Kediri dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan kepada putra sulungnya yang berjulukan Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya mencakup tempat sekitar Surabaya hingga Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan Kediri di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang berjulukan Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha), mencakup tempat sekitar Kediri dan Madiun.

Kerajaan Kediri yaitu kerajaan pertama yang mempunyai sistem manajemen kewilayahan negara berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang. Struktur paling bawah dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang duwan. Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau kerajaan yang disebut dengan bhumi.

Kerajaan Kediri

Kehidupan politik pada belahan awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara antara Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di Jenggala. Mereka tidak sanggup hidup berdampingan. Pada tahun 1052 M terjadi peperangan kudeta di antara kedua belah pihak. Pada tahap pertama Panji Garasakan sanggup mengalahkan Samarawijaya, sehingga Panji Garasakan berkuasa. Di Jenggala kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji Garasakan. Tahun 1059 M yang memerintah yaitu Samarotsaha. Akan tetapi sesudah itu tidak terdengar informasi mengenal Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Baru pada tahun 1104 M tampil Kerajaan Panjalu sebagai rajanya Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan ibu kotanya di Daha.

Tahun 1117 M Bameswara tampil sebagai Raja Kediri Prasasti yang ditemukan, antara lain Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya yang penting wacana pemberian status perdikan untuk beberapa desa.

Pada tahun 1135 M tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya. Ia meninggalkan tiga prasasti penting, yakni Prasasti Hantang atau Ngantang (1135 M), Talan (1136 M) dan Prasasti Desa Jepun (1144 M). Prasasti Hantang memuat goresan pena panjalu jayati, artinya panjalu menang. Hal itu untuk mengenang kemenangan Panjalu atas Jenggala. Jayabaya telah berhasil mengatasi aneka macam kekacauan di kerajaan.

Di kalangan masyarakat Jawa, nama Jayabaya sangat dikenal lantaran adanya Ramalan atau Jangka Jayabaya. Pada masa pemerintahan Jayabaya telah digubah Kitab Baratayuda oleh Empu Sedah dan kemudian dilanjutkan oleh Empu Panuluh.

Perkembangan Politik, Sosial, dan Ekonomi
Sampai masa awal pemerintahan Jayabaya, kekacauan jawaban kontradiksi dengan Janggala terus berlangsung.Baru pada tahun 1135 M Jayabaya berhasil memadamkan kekacauan itu. Sebagai bukti, adanya kata-kata panjalu jayati pada prasasti Hantang. Setelah kerajaan stabil, Jayabaya mulai menata dan menyebarkan kerajaannya.

Kehidupan Kerajaan Kediri menjadi teratur. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian yang penting yaitu pertanian dengan hasil utamanya padi. Pelayaran dan perdagangan juga berkembang.

Hal ini ditopang oleh Angkatan Laut Kediri yang cukup tangguh. Armada bahari Kediri bisa menjamin keamanan perairan Nusantara. Di Kediri telah ada Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut). Bahkan Sriwijaya yang pernah mengakui kebesaran Kediri, yang telah bisa menyebarkan pelayaran dan perdagangan. Barang perdagangan di Kediri antara lain emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat wacana pajak sudah tinggi. Rakyat menyerahkan barang atau sebagian hasil buminya kepada pemerintah.

Menurut informasi Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang menggunakan kain hingga di bawah lutut. Rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka higienis dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan hijau. Dalam perkawinan, keluarga pengantin perempuan mendapatkan mas kawin berupa emas. Rajanya berpakaian sutera, menggunakan sepatu, dan aksesori emas. Rambutnya disanggul ke atas. Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 hingga 700 prajurit.

Di bidang kebudayaan, yang menonjol yaitu perkembangan seni sastra dan pertunjukan wayang. Di Kediri dikenal adanya wayang panji.

Beberapa karya sastra yang terkenal, sebagai berikut:
  • Kitab Baratayuda
    Kitab Baratayudha ditulis pada zaman Jayabaya, untuk memperlihatkan citra terjadinya perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Perang saudara itu digambarkan dengan perang antara Kurawa dengan Pandawa yang masingmasing merupakan keturunan Barata.

  • Kitab Kresnayana
    Kitab Kresnayana ditulis oleh Empu Triguna pada zaman Raja Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini.

  • Kitab Smaradahana
    Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Empu Darmaja. Isinya menceritakan wacana sepasang suami istri Smara dan Rati yang menarik hati Dewa Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rail kena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana) lantaran kesaktian Dewa Syiwa. Akan tetapi, kedua suami istri itu dihidupkan lagi dan bermetamorfosis sebagai Kameswara dan permaisurinya.

  • Kitab Lubdaka
    Kitab Lubdaka ditulis oleh Empu Tanakung pada zaman Raja Kameswara. Isinya wacana seorang pemburu berjulukan Lubdaka. Ia sudah banyak membunuh. Pada suatu ketika ia mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa, sehingga rohnya yang semestinya masuk neraka, menjadi masuk surga.
Raja yang terakhir di Kerajaan Kediri yaitu Kertajaya atau Dandang Gendis. Pada masa pemerintahannya, terjadi kontradiksi antara raja dan para pendeta atau kaum brahmana, lantaran Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat. Hal ini memperlemah pemerintahan di Kediri. Para brahmana kemudian mencari proteksi kepada Ken Arok yang merupakan penguasa di Tumapel. Pada tahun 1222 M, Ken Arok dengan proteksi kaum brahmana menyerang Kediri. Kediri sanggup dikalahkan oleh Ken Arok.

Kerajaan Singhasari

Raja-Raja yang Memerintah Singhasari:
Ken Arok (1222 – 1227 M)
Setelah berakhirnya Kerajaan Kediri, kemudian berkembang Kerajaan Singhasari. Pusat Kerajaan Singhasari kira-kira terletak di dekat kota Malang, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok. Ken Arok berhasil tampil sebagai raja, walaupun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Menurut kitab Pararaton, Ken Arok yaitu anak seorang petani dari Desa Pangkur, di sebelah timur Gunung Kawi, tempat Malang. Ibunya berjulukan Ken Endok.

Diceritakan, bahwa pada waktu masih bayi, Ken Arok diletakkan oleh ibunya di sebuah makam. Bayi ini kemudian ditemukan oleh seorang pencuri, berjulukan Lembong. Akibat dari didikan dan lingkungan keluarga pencuri, maka Ken Arok tumbuh menjadi seorang penjahat yang sering menjadi buronan pemerintah Kerajaan Kediri. Suatu ketika Ken Arok berjumpa dengan pendeta Lohgawe. Ken Arok menyampaikan ingin menjadi orang baik-baik. Kemudian dengan perantaraan Lohgawe, Ken Arok diabdikan kepada seorang Akuwu (bupati) Tumapel, berjulukan Tunggul Ametung.

Setelah beberapa usang mengabdi di Tumapel, Ken Arok mempunyai keinginan untuk memperistri Ken Dedes, yang sudah menjadi istri Tunggul Ametung. Kemudian timbul niat jelek dari Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung supaya Ken Dedes sanggup diperistri olehnya. Ternyata benar, Tunggul Ametung sanggup dibunuh oleh Ken Arok dengan keris Empu Gandring. Setelah Tunggul Ametung terbunuh, Ken Arok menggantikan sebagai penguasa di Tumapel dan memperistri Ken Dedes. Pada waktu diperistri Ken Arok, Ken Dedes sudah mengandung tiga bulan, hasil perkawinan dengan Tunggul Ametung.

Pada waktu itu Tumapel hanya tempat bawahan Raja Kertajaya dari Kediri. Ken Arok ingin menjadi raja, maka ia merencanakan menyerang Kediri. Pada tahun 1222 M Ken Arok atas proteksi para pendeta melaksanakan serangan ke Kediri. Raja Kertajaya sanggup ditaklukkan oleh Ken Arok dalam pertempurannya di Ganter, dekat Pujon, Malang. Setelah Kediri berhasil ditaklukkan, maka seluruh wilayah Kediri dipersatukan dengan Tumapel dan lahirlah Kerajaan Singhasari.

Setelah berdiri Kerajaan Singhasari, Ken Arok tampil sebagai raja pertama. Ken Ar ok sebagai raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Ken Arok memerintah selama lima tahun. Pada tahun 1227 M Ken Arok dibunuh oleh seorang pengalasan atau pesuruh dan Batil, atas perintah Anusapati. Anusapati yaitu putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Jenazah Ken Arok dicandikan di Kagenengan dalam bangunan perpaduan Syiwa-Buddha. Ken Arok meninggalkan beberapa putra. Bersama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat putra, yaitu Panji Tohjoyo, Panji Sudatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Bersama Ken Dedes, Ken Arok mempunyai putra berjulukan Mahesa Wongateleng.

Anusapati
Tahun 1227 M Anusapati naik takhta Kerajaan Singhasari. Ia memerintah selama 21 tahun. Akan tetapi, ia belum banyak berbuat untuk pembangunan kerajaan. Lambat laun informasi wacana pembunuhan Ken Arok hingga pula kepada Tohjoyo (putra Ken Arok). Oleh lantaran ia mengetahui pembunuh ayahnya yaitu Anusapati, maka Tohjoyo ingin membalas dendam, yaitu membunuh Anusapati. Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati mempunyai kesukaan menyabung ayam maka ia mengajak Anusapati untuk menyabung ayam. Pada dikala menyabung ayam, Tohjoyo berhasil membunuh Anusapati. Anusapati dicandikan di Candi Kidal dekat Kota Malang sekarang. Anusapati meninggalkan seorang putra berjulukan Ronggowuni.

Tohjoyo (1248 M)
Setelah berhasil membunuh Anusapati, Tohjoyo naik takhta. Masa pemerintahannya sangat singkat, Ronggowuni yang merasa berhak atas takhta kerajaan, menuntut takhta kepada Tohjoyo. Ronggowuni dalam hal ini dibantu oleh Mahesa Cempaka, putra dari Mahesa Wongateleng. Menghadapi tuntutan ini, maka Tohjoyo mengirim pasukannya di bawah Lembu Ampal untuk melawan Ronggowuni. Kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Tohjoyo dengan pengikut Ronggowuni. Dalam pertempuran tersebut Lembu Ampal berbalik memihak Ronggowuni. Serangan pengikut Ronggowuni semakin berpengaruh dan berhasil menduduki istana Singhasari. Tohjoyo berhasil meloloskan diri dan kesudahannya meninggal di tempat Katang Lumbang jawaban luka-luka yang dideritanya.

Ronggowuni (1248 - 1268 M)
Ronggowuni naik takhta Kerajaan Singhasari tahun 1248 M. Ronggowuni bergelar Sri Jaya Wisnuwardana. Dalam memerintah ia didampingi oleh Mahesa Cempaka yang berkedudukan sebagai Ratu Anggabaya . Mahesa Cempaka bergelar Narasimhamurti. Di samping itu, pada tahun 1254 M Wisnuwardana juga mengangkat putranya yang berjulukan Kertanegara sebagai raja muda atau Yuwaraja. Pada dikala itu Kertanegara masih sangat muda.

Singhasari di bawah pemerintahan Ronggowuni dan Mahesa Cempaka hidup dalam keadaan kondusif dan tenteram. Rakyat hidup dengan bertani dan berdagang. Kehidupan rakyat juga mulai terjamin. Raja memerintahkan untuk membangun benteng pertahanan di Canggu Lor.

Tahun 1268 M, Ronggowuni meninggal dunia dan dicandikan di dua tempat, yaitu sebagai Syiwa di Waleri dan sebagai Buddha Amogapasa di Jajagu. Jajagu kemudian dikenal dengan Candi Jago. Bentuk Candi Jago sangat menarik, yaitu kaki candi bertingkat tiga dan tersusun berundak-undak. Reliefnya datar dan gambar orangnya ibarat wayang kulit di Bali. Tokoh jagoan selalu diikuti dengan punakawan. Tidak usang kemudian Mahesa Cempaka pun meninggal dunia. Ia dicandikan di Kumeper dan Wudi Kucir.

Kertanegara (1268 - 1292 M)
Tahun 1268 M Kertanegara naik takhta menggantikan Ronggowuni. Ia bergelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Kertanegara merupakan raja yang paling populer di Singhasari. Ia ber cita-cita, Singhasari menjadi kerajaan yang besar. Untuk mewujudkan cita-citanya, maka Kertanegara melaksanakan aneka macam usaha.

Perluasan Daerah Singhasari
Kertanegara menginginkan wilayah Singhasari hingga mencakup seluruh Nusantara. Beberapa tempat berhasil ditaklukkan, contohnya Bali, Kalimantan Barat Daya, Maluku, Sunda, dan Pahang. Penguasaan daerah-daerah di luar Jawa yang merupakan pelaksanaan politik luar negeri bertujuan untuk mengimbangi efek Kubilai Khan dari Cina. Pada tahun 1275 M Raja Kertanegara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Mahesa Anabrang (Kebo Anabrang). Sasaran dari ekspedisi ini untuk menguasai Sriwijaya. Akan tetapi, untuk menguasainya harus melalui tempat sekitarnya termasuk dekat dan menanamkan efek Singhasari di Melayu. Sebagai tanda persahabatan, Kertanegara menghadiahkan patung Amogapasa kepada penguasa Melayu. Ekspedisi Pamalayu diperlukan akan menggoyahkan Sriwijaya.

Dalam rangka memperkuat politik luar negeranya, Kertanegara menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Kepulauan Indonesia. Misalnya dengan Raja Jayasingawarman III dan Kerajaan Campa. Bahkan Raja Jayasingawarman III memperistri salah seorang saudara per empuan dari Kertanegara.

Kertanegara memandang Cina sebagai saingan. Berkali-kali utusan Kaisar Cina memaksa Kertanegara supaya mengakui kekuasaan Cina, tetapi ditolak oleh Kertanegara. Terakhir pada tahun 1289 M tiba utusan Cina yang dipimpin oleh Mengki. Kertanegara marah, Mengki disakiti dan disuruh kembali ke Cina. Hal inilah yang membuat murka Kaisar Cina yang ber nama Kubilai Khan. Ia merencanakan membalas tindakan Kertanegara.

Perkembangan Politik dan Pemerintahan
Untuk membuat pemerintahan yang berpengaruh dan teratur, Kertanegara telah membentuk badan-badan pelaksana. Raja sebagai penguasa tertinggi. Kemudian raja mengangkat tim penasihat yang terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu. Untuk membantu raja dalam pelaksanaan pemerintahan, diangkat beberapa pejabat tinggi kerajaan yang terdiri atas Rakryan Mapatih, Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan. Selain itu, ada pegawai-pegawai rendahan.

Untuk membuat stabilitas politik dalam negeri, Kertanegara melaksanakan penataan di lingkungan para pejabat. Orang-orang yang tidak oke dengan harapan Kertanegara diganti. Sebagai contoh, Patih Raganata (Kebo Arema) diganti oleh Aragani dan Banyak Wide dipindahkan ke Madura, menjadi Bupati Sumenep dengan nama Arya Wiraraja.

Kehidupan Agama
Pada masa pemerintahan Kertanegara, agama Hindu maupun Buddha berkembang dengan baik. Bahkan terjadi Sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha, menjadi bentuk Syiwa-Buddha. Sebagai contoh, berkembangnya aliran Tantrayana. Kertanegara sendiri penganut aliran Tantrayana.

Usaha untuk memperluas wilayah dan mencari proteksi dan aneka macam tempat terus dilakukan oleh Kertanegara. Banyak pasukan Singhasari yang dikirim ke aneka macam daerah. Antara lain pasukan yang dikirim ke tanah Melayu. Oleh lantaran itu, kekuatan ibu kota kerajaan berkurang. Keadaan ini diketahui oleh pihak-pihak yang tidak bahagia terhadap kekuasaan Kertanegara. Pihak yang tidak bahagia itu antara lain Jayakatwang, penguasa Kediri. Ia berusaha menjatuhkan kekuasaan Kertanegara.

Saat yang ditunggu oleh Jayakatwang ternyata telah tiba. Istana Kerajaan Singhasari dalam keadaan lemah. Pasukan kerajaan hanya tersisa sebagian kecil. Pada dikala itu, Kertanegara sedang melaksanakan upacara keagamaan dengan pesta pora, sehingga Kertanegara benar-benar lengah. Tibatiba, Jayakatwang menyerbu istana Kertanegara. Serangan Jayakatwang dibagi menjadi dua arah. Sebagian kecil pasukan Kediri menyerang dari arah utara untuk memancing pasukan Singhasari keluar dari sentra kerajaan. Sementara itu induk pasukan Kediri bergerak dan menyerang dari arah selatan. Untuk menghadapi serangan Jayakatwang, Kertanegara mengirimkan pasukan yang ada di bawah pimpinan Raden Wijaya dan Pangeran Ardaraja. Ardaraja yaitu anak Jayakatwang dan menantu dari Kertanegara. Pasukan Kediri yang tiba dari arah utara sanggup dikalahkan oleh pasukan Raden Wijaya Akan tetapi, pasukan inti dengan leluasa masuk dan menyerang istana, sehingga berhasil menewaskan Kertanegara. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1292 M. Raden Wijaya dan pengikutnya kemudian meloloskan diri sesudah mengetahui istana kerajaan dihancurkan oleh pasukan Kediri. Sedangkan Ardaraja membalik dan bergabung dengan pasukan Kediri.

Jenazah Kertanegara kemudian dicandikan di dua tempat, yaitu di Candi Jawi di Pandaan dan di Candi Singosari, di tempat Singosari, Malang.

Sebagai raja yang besar, nama Kertanegara diabadikan di aneka macam tempat. Bahkan di Surabaya ada sebuah arca Kertanegara yang ibarat bentuk arca Buddha. Ar ca Kertanegara itu dinamakan arca Joko Dolok. Dengan terbunuhnya Kertanegara maka berakhirlah Kerajaan Singhasari.

Kerajaan Majapahit

Info lebih lengkap wacana Kerajaan Majapahit: Kerajaan Majapahit
Setelah Singhasari jatuh, berdirilah kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur, antara era ke-14 - ke-15 M. Berdirinya kerajaan ini gotong royong sudah direncanakan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya). Ia mempunyai kiprah untuk melanjutkan kemegahan Singhasari yang dikala itu sudah hampir runtuh. Saat itu dengan dibantu oleh Arya Wiraraja seorang penguasa Madura, Raden Wijaya membuka hutan di wilayah yang disebut dalam kitab Pararaton sebagai hutannya orang Trik. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya.

Pada masa pemerintahannya Raden Wijaya mengalami pemberontakan yang dilakukan oleh sahabat-sahabatnya yang pernah mendukung usaha dalam mendirikan Majapahit. Setelah Raden Wijaya wafat, ia digantikan oleh putranya Jayanegara. Jayanegara dikenal sebagai raja yang kurang bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Kondisi itulah yang mengakibatkan pembantupembantunya melaksanakan pemberontakan.

Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya yaitu pemberontakan Kuti. Pada dikala itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah proteksi pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun taktik dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan (1319-1321) dan Patih Kediri (1322-1330).

Keraj aan Majapahit penuh dengan intrik politik dari dalam kerajaan itu sendiri. Kondisi yang sama juga terjadi menjelang keruntuhan Majapahit. Masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddani yaitu pembentuk kemegahan kerajaan. Tribhuwana berkuasa di Majapahit hingga kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk. Pada masa Hayam Wuruk itulah Majapahit berada di puncak kejayaannya. Hayam Wuruk disebut juga Rajasanagara. Ia memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.

Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mencapai zaman keemasan. Wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas, bahkan melebihi luas wilayah Republik Indonesia sekarang. Oleh lantaran itu, Muhammad Yamin menyebut Majapahit dengan sebutan negara nasional kedua di Indonesia. Seluruh kepulauan di Indonesia berada di bawah kekuasaan Majapahit. Hal ini memang tidak sanggup dilepaskan dan kegigihan Gajah Mada. Sumpah Palapa, ternyata benar-benar dilaksanakan. Dalam melaksanakan cita-citanya, Gajah Mada didukung oleh beberapa tokoh, contohnya Adityawarman dan Laksamana Nala. Di bawah pimpinan Laksamana Nala Majapahit membentuk angkatan bahari yang sangat kuat. Tugas utamanya adalah mengawasi seluruh perairan yang ada di Nusantara. Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami kemajuan di aneka macam bidang.

Menurut Kakawin Nagarakertagama pupuh XIII-XV, tempat kekuasaan Majapahit mencakup Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Majapahit juga mempunyai hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma belahan selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.

SUMPAH PALAPA
Pada dikala diangkat sebagai Mahapatih Gajah Mada bersumpah bahwa ia tidak akan beristirahat (amukti palapa) bila belum sanggup menyatukan seluruh Nusantara. Sumpah itu kemudian dikenal dengan Sumpah Palapa sebagai berikut:

“Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo,ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman isun amukti palapa”.

Artinya:
“Setelah tunduk Nusantara, saya akan beristirahat; Sesudah kalah Gurun seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya akan beristirahat”

Politik dan Pemerintahan
Majapahit telah menyebarkan sistem pemerintahan yang teratur. Raja memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh aneka macam tubuh atau pejabat berikut.
  • Rakryan Mahamantri Katrini, dijabat oleh para putra raja, terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu.
  • Dewan Pelaksana terdiri atas Rakryan Mapatih atau Patih Mangkabumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini dikenal sebagai Sang Panca ring Wilwatika. Di antara kelima pejabat itu Rakryan Mapatih atau Patih Mangkubumi merupakan pejabat yang paling penting. Ia menduduki tempat sebagai perdana menteri. Bersama sama raja, ia menjalankan akal pemerintahan. Selain itu terdapat pula dewan pertimbangan yang disebut dengan Batara Sapta Prabu.
Struktur tersebut ada di pemerintah pusat. Di setiap tempat yang berada di bawah raja-raja, dibuatkan pula struktur yang mirip.

Untuk membuat pemerintahan yang higienis dan berwibawa, dibentuklah tubuh peradilan yang disebut dengan Saptopapati. Selain itu disusun pula kitab aturan oleh Gajah Mada yang disebut Kitab Kutaramanawa. Gajah Mada memang seorang negarawan yang mumpuni. Ia memahami pemerintahan taktik perang dan hukum.

Untuk mengatur kehidupan beragama dibuat tubuh atau pejabat yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa yaitu pejabat tinggi kerajaan yang khusus menangani problem keagamaan. Di Majapahit dikenal ada dua Dharmadyaksa sebagai berikut.
  • Dharmadyaksa ring Kasaiwan, mengurusi agama Syiwa (Hindu).
  • Dharmadyaksa ring Kasogatan, mengurusi agama Buddha.
Dalam menjalankan tugas, masing-masing Dharmadyaksa dibantu oleh pejabat keagamaan yang diberi sebutan Sang Pamegat.

Kehidupan beragama di Majapahit berkembang semarak. Pemeluk yang beragama Hindu maupun Buddha saling bersatu. Pada masa itupun sudah dikenal semboyan Bhinneka Tunggal Ika, artinya, sekalipun berbeda-beda baik Hindu maupun Buddha pada hakikatnya yaitu satu jua. Kemudian secara umum kita artikan berbeda-beda kesudahannya satu jua

Berkat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kehidupan politik, dan stabilitas nasional Majapahit terjamin. Hal ini disebabkan pula lantaran kekuatan tentara Majapahit dan angkatan lautnya sehingga semua perairan nasional sanggup diawasi.

Majapahit juga menjalin hubungan dengan kerajaan lain. Hubungan dengan Siam, Birma, Kamboja, Anam, India, dan Cina berlangsung dengan baik. Dalam membina hubungan dengan luar negeri, Majapahit mengenal motto Mitreka Satata, artinya negara sahabat.

Kehidupan Sosial Ekonomi
Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, rakyat Majapahit hidup kondusif dan tenteram. Hayam Wuruk sangat memperhatikan rakyatnya. Keamanan dan kemakmuran rakyat diutamakan. Untuk itu dibangun jalan-jalan dan jembatan-jembatan. Dengan demikian kemudian lintas menjadi lancar. Hal ini mendukung kegiatan keamanan dan kegiatan perekonomian, terutama perdagangan. Lalu lintas perdagangan yang paling penting melalui sungai. Misalnya, Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Akibatnya desa-desa di tepi sungai dan yang berada di muara serta di tepi pantai, berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan. Hal itu mengakibatkan terjadinya arus bolak-balik para pedagang yang menjajakan barang dagangannya dari tempat pantai atau muara ke pedalaman atau sebaliknya.Bahkan di tempat pantai berkembang perdagangan antar daerah, antar pulau, bahkan dengan pedagang dari luar. Kemudian timbullah kota-kota pelabuhan sebagai sentra pelayaran dan perdagangan. Beberapa kota pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara lain Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban. Pada waktu itu banyak pedagang dari luar mirip dari Cina India, dan Siam.

Adanya pelabuhan-pelabuhan tersebut mendorong munculnya kelompok darah biru kaya. Mereka menguasai pemasaran bahan-bahan dagangan pokok dari dan ke daerah-daerah Indonesia Timur dan Malaka.

Kegiatan pertanian juga dikembangkan. Sawah dan ladang dikerjakan secukupnya dan dikerjakan secara bergiliran. Hal ini maksudnya supaya tanah tetap subur dan tidak kehabisan lahan pertanian. Tanggultanggul di sepanjang sungai diperbaiki untuk mencegah ancaman banjir.

Perkembangan Sastra dan Budaya
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, bidang sastra mengalami kemajuan. Karya sastra yang paling populer pada zaman Majapahit yaitu Kitab Negarakertagama. Kitab ini ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 M. Di samping memperlihatkan kemajuan di bidang sastra, Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah Majapahit. Kitab lain yang penting yaitu Sutasoma. Kitab ini disusun oleh Empu Tantular. Kitab Sutasoma memuat katakata yang kini menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Di samping itu, Empu Tantular juga menulis kitab Arjunawiwaha.

Sutasoma 139,4d-5d
Hyan Buddha tan pabi lawan siwarajadewa rwanekadhatu winuwus wara Buddhawisma bhineki rakwa rinapankenapanarwanosen manka n jiwatwa kalawan siwatatwa tunggal bhineka ika tan hanna dharma mangruwa
Artinya : “Dewa Buddha tidak berbeda dengan Siwa. Maheswara di antara dewa-dewa. Keduanya dikatakan mengandung banyak unsur Buddha yang boleh dikatakan tidak terpisahkan sanggup begitu saja dipisahkan menjadi dua? Jiwa Jina dan Jiwa Siwa yaitu satu dalam aturan tidak terdapat dualisme.

Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak bangunan candi telah dibuat. Misalnya Candi Penataran dan Sawentar di tempat Blitar, Candi Tigawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri, serta Candi Tikus di Trowulan.

Keruntuhan Majapahit lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian besar keluarga raja, sesudah turunnya Hayam Wuruk. Perang Par egrek telah melemahkan unsur-unsur kejayaan Majapahit. Meskipun peperangan berakhir, Majapahit terus mengalami kelemahan lantaran raja yang berkuasa tidak bisa lagi mengembalikan kejayaannya. Unsur lain yang mengakibatkan runtuhnya Majapahit yaitu semakin meluasnya efek Islam pada dikala itu.

Kemajuan peradaban Majapahit itu tidak hilang dengan runtuhnya kerajaan itu. Pencapaian itu terus dipertahankan hingga masa perkembangan Islam di Jawa. Peninggalan peradaban Majapahit juga sanggup kita saksikan pada perkembangan lingkup kebudayaan Bali pada dikala ini. Kebudayaan yang masih dikembangkan hingga masa Islam yaitu kisah wayang yang berasal dari epos India yaitu Mahabharata dan Ramayana, serta kisah asmara Raden Panji dengan Sekar Taji (Galuh Candrakirana). Selain itu sanggup kita saksikan juga pada unsur arsitekturnya bentuk atap tumpang, seni ukir sulur -suluran dan flora melata, senjata keris, lokasi keramat, dan masih banyak lagi.

Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali

Menurut informasi Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada tempat Po-li atau Dwa-pa-tan yang sanggup disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayit itu dibakar. Hal itu mengambarkan Bali telah berkembang.

Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai populer sesudah periode kekuasaan Majapahit. Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain. Nama Kerajaan Buleleng semakin terkenal, terutama sesudah zaman penjajahan Belanda di Bali. Pada waktu itu pernah terjadi perang rakyat Buleleng melawan Belanda.

Pada zaman kuno, gotong royong Buleleng sudah berkembang. Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan menjadi salah satu tempat kekuasaan Dinasti Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi sentra perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian mirip kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang). Perdagangan dengan tempat seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak Wungsu. Hal ini sanggup dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran yang berangka tahun 1065 M.

Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng sabrangjong, bahitra, rumunduk i manasa...” Artinya, andai kata ada saudagar dari seberang yang tiba dengan jukung bahitra berlabuh di manasa...”

Untuk memahami lebih lanjut kau sanggup membaca buku Marwati Djoened Poesponoro. Sejarah Nasional Indonesia jilid II; dan Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan, Indonesia Sejarah Daerah Bali.

Sistem perdagangannya ada yang menggunakan sistem barter, ada yang sudah dengan alat tukar (uang). Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang), contohnya ma, su dan piling.

Dengan perkembangan perdagangan bahari antar pulau di zaman kuno secara hemat Buleleng mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali contohnya pada masa Kerajaan Dinasti Warmadewa.

Kerajaan Tulang Bawang

Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di tempat Lampung yaitu kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang berkenaan dengan tempat Lampung berasal dari era ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung-Shu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420– 479). Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara belahan barat berjulukan P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan Cina berlangsung terus semenjak pertengahan era ke-5 hingga era ke-6, mirip halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.

Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’inghuang-yu-chi yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan berjulukan T’o-lang-p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di tempat pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi). L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi pantai mirip dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”. Namun, di samping itu Damais kemudian memperlihatkan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat berjulukan Bawang (Umbul Bawang) yang kini terletak di tempat Kabupaten Lampung Barat, yaitu di tempat Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah. Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, semenjak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah watu tegak, dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi watu yang lainnya.

Kerajaan Kota Kapur

Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk wacana kemungkinan adanya sebuah sentra kekuasaan di tempat itu semenjak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari watu bersama dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar era ke-5 dan ke-7 masehi. Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi watu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, mirip halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini yaitu peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini memperlihatkan masa antara tahun 530 M hingga 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan era ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi perluasan Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang final era ke7. Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.

Kesimpulan

  • Sejak semula tampak bahwa letak geografis Nusantara (yang kemudian menjadi Indonesia) memainkan kiprah utama semenjak zaman pra-aksara. Faktor geografis ini sepertinya merupakan faktor permanen dalam perjalanan sejarah Indonesia sepanjang masa. Peran itu ditunjukkan di zaman Hindu-Buddha, ketika jalur utama dalam pelayaran samudra semakin pesat dan mengintegrasikan tempat antarpulau. Kondisi demikian didukung dengan keterlibatan nenek moyang kita secara aktif dalam perdagangan laut, dan mengarungi lautan. Ini pada gilirannya telah menumbuhkan kekuatan ekonomi dan politik yang besar di Nusantara sehingga bisa mengintegrasikan wilayah-wilayah di Nusantara terutama era Kerajaan Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit.
  • Silang budaya Nusantara di zaman pra-aksara terlihat terperinci ketika masuknya efek budaya Austronesia. Sebagian besar dimungkinkan berkat posisi silang letak geografis Nusantara (di antara dua benua dan dua samudra). Sekali lagi pola itu diulangi lewat integrasi budaya lebih banyak didominasi mirip Hindu-Buddha. Sumbangan terbesar dari zaman Hindu-Buddha ialah membebaskan Nusantara dari zaman pra-aksara dan memberi jalan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk zamannya. Budaya tulis tetap merupakan belahan penting dalam perkembangan peradaban hingga hari ini. Meskipun kini kita sudah mengenal media cyber (media maya), budaya goresan pena tidak akan pernah ditinggalkan dan bahkan akan semakin maju apabila generasi kita semakin menguasai bahasa tulis.

Sebelumnya... Pedagang, Penguasa dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha) (2/3)
Pedagang, Penguasa dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha) (1/3)

Sumber : kemdikbud.go.id

Materi Sejarah Sekolah Menengan Atas - Pedagang, Penguasa dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha) MARKIJAR : MARi KIta belaJAR


Sumber http://www.markijar.com/