Random post

Monday, July 24, 2017

√ Hipersensitivitas Tipe Ii


BAB I
PENDAHULUAN

A.      PENDAHULAN
Pada dasarnya badan kita mempunyai imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang jika mana ketemu dengan antigen kemudian mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka badan akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan badan menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.

B.      TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus penulis menciptakan makalah ini yaitu biar penulis lebih mengetahui dan memahami perihal definisi reaksi HIPERSENSITIVITAS pada badan insan serta sanggup menerapkan Ilmu Keperawatan untuk penanganan pasien yang menderita reaksi HIPERSENSITIVITAS.

C.      TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulis menciptakan makalah ini yaitu biar para pembaca sanggup mengetahui definisi dari reaksi HIPERSENSITIVITAS. Tentang tanda-tanda yang timbul alasannya yaitu akhir hingga cara pengobatan yang sempurna untuk penderita reaksi HIPERSENSITIVITAS.



BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    DEFINISI
Alergi atau hipersensitivitas yaitu kegagalan kekebalan badan di mana badan seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, badan insan bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh badan dianggap absurd atau berbahaya. Bahan-bahan yang mengakibatkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

Reaksi hipersentsitivitas mempunyai 4 tipe reaksi ibarat berikut:
1.       Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akhir terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas pribadi atau anafilaktik. Reaksi ini berafiliasi dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini sanggup menjadikan tanda-tanda yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga sanggup mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darahneutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang sanggup dipakai untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I yaitu tes kulit (tusukan dan intradermal) danELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akhir hipersensitivitas pada serpihan yang tidak terpapar pribadi oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga sanggup dikarenakan beberapa penyakit non-atopik ibarat infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang sanggup ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I yaitu memakai anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2.       Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupaimunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang pribadi berafiliasi dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang pribadi berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada sasaran sel.
Hipersensitivitas sanggup melibatkan reaksi suplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga sanggup pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
§  Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal).
§  Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti p3enisilin yang sanggup menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan ibarat hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan mengakibatkan lisis sel darah merah), dan
§  Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga mengakibatkan kerusakan ginjal).

3.       Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan suplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkanneurotrophichemotactic factor yang sanggup mengakibatkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea sanggup berupa keratitis herpes simpleks, keratitis lantaran bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

4.       Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Sedangkan pada tipe IV yang berperan yaitu limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan mengakibatkan terlepasnya perantara (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.

Sedangkan yang akan kita bahas ketika ini yaitu hiperensitivitas tipe II atau sitotoksik diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen sasaran pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut sanggup merupakan molekul intrinsic normal bagi membrane sel atau matriks ekstraseluler atau sanggup merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi (misalnya metabolit obat).  Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang di ikuti salah satu dari tiga prosedur bergantung antibodi, yaitu:
1.       Opsonisasi dan Fagositosis yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor
Sel-sel yang menjadi sasaran antibodi  diopsonisasi oleh molekul-molekul  yang bisa menarik fagosit, sehingga sel-sel tersebut mengalami deplesiSaat antibodi (IgG/IgM) terikat pada permukaan sel, terjadi pengaktifan sistem komplemen. Aktivasi suplemen terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang akan terikat pada permukaan sel. C3b dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang mengekspresikan reseptor C3b dan C4b. Sebagai tambahan, sel-sel yang di-opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali oleh fagosit reseptor Fc.  Hasil akibatnya yaitu fagositosis dari sel yang di-opsonisasi, kemudian sel tersebut dihancurkan. Aktivasi suplemen juga mengakibatkan terbentuknya membrane attack complex, yang mengganggu integritas membran dengan menciptakan ‘lubang-lubang’ menembus lipid bilayer, sehingga terjadi lisis osmotik sel.
Kerusakan sel yang dimediasi antibodi sanggup terjadi melalui proses lain yaituantibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC)Bentuk jejas yang ditimbulkan tidak melibatkan fiksasi suplemen melainkan membutuhkan kerjasama leukosit. Sel yang di selubungi dengan IgG konsentrasi rendah kemudian dibunuh oleh banyak sekali macam sel efektor yang berikatan pada sel sasaran dengan  reseptor untuk fragmen Fc dari IgG dan sel akan lisis tanpa mengalami fagositosis.  ADCC sanggup diperantarai oleh banyak sekali macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan benalu yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan yaitu IgE. Peran dari ADCC dalam hipersensitivitas masih belum sanggup dipastikan
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Ø  Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor. Reaksi sanggup cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Antibodi golongan ini menimbulkan aglutinasi, aktivasi komplemen, dan hemolisis intravaskular.Dalam beberapa jam hemoglobin bebas sanggup ditemukan dalam plasma dan di saring melalui ginjal (hemoglobinuria). Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi sanggup bersifat toksik. Gejala khasnya sanggup berupa demam, menggigil, nausea, demam, nyeri pinggang dan hemoglubinuria.
Ø  Hal serupa terjadi pada hemolytic diseases of the newborn (HDN) akhir ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus Incompatibilitydimana anti-D IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu Rh- mempunyai janin Rh+. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada ketika persalinan pertama, lantaran itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang sanggup menembus plasenta dan mengadakan interaksi dengan faktor Rh pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosis fetalis).
Ø  Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.
Ø  Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya) yang secara nonspesifik diabsorpsi pada permukaan sel (contohnya yaitu hemolisis yang sanggup terjadi setelah pemberian p3enisilin).

2.         Inflamasi yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor
Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks), kerusakan yang dihasilkan merupakan akhir dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel. Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.

3.       Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa mengakibatkan jejas sel atau inflamasi. Oleh lantaran itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot.
Dari pembahasan di atas, sanggup disimpulkan bahwa prinsip dari reaksi hipersensitivitas tipe II yaitu adanya mediasi dari antibodi untuk mengakibatkan sitolitik pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang menempel pada permukaan membran sel. Kasus pada pemicu akhir adanya imbas obat bisa menjadi reaksi hipersensitivitas tipe II melalui adanya pembentukan kompleks antigen-antibodi. Namun, hal tersebut sulit untuk dibuktikan lantaran imbas reaksi obat yang begitu cepat lebih mengarah pada adanya anafilaktik obat yang merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I

B.     ETIOLOGI
Faktor yang berperan dalam alergi di bagi menjadi 2 yaitu :
a.       Faktor Internal
1)      Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi kuliner tertentu.
2)      Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin hingga masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
3)      .Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang mengakibatkan penyerapan alergen bertambah.
b.      Fakor Eksternal
1)      Faktor aktivis : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
2)      Contoh kuliner yang sanggup memperlihatkan reaksi alergi berdasarkan prevalensinya
Ikan 15,4 %
Telur 12,7 %
Susu 12,2 %
Kacang 5,3 %
Gandum           4,7                  %
Apel 4,7 %
Kentang 2,6 %
Coklat 2,1 %
Babi 1,5 %
Sapi                3,1                %
3)      Hampir semua jenis kuliner dan zat tambahan pada kuliner sanggup menimbulkan reaksi alergi.

C.    PATOFISIOLOGI
Saat  pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh  seseorang  yang mengkonsumsi kuliner tetapi beliau belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi kuliner yang sama barulah tampak tanda-tanda – tanda-tanda timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu aktifnya sel T ,dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk  mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses ini menjadikan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal  yaitu,:
1.       Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memperlihatkan imbas terhadap banyak sekali sel terutama dalam menarik sel – sel radang contohnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang mengakibatkan panas.
2.       Alergen  tersebut akan pribadi mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak , kemudian histamin tersebut beredar di dalam badan melalui pembuluh darah.   Saat mereka mencapai kulit, alergen akan mengakibatkan terjadinya gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada ketika mereka mencapai paru paru, alergen sanggup mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan jika tidak ditangani segera sanggup mengakibatkan kematian

D.    TANDA DAN GEJALA
Adapun Gejala klinisnya :
1.                              Pada saluran pernafasan : asma
2.                              Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3.                              Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4.                              Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

E.     PEMERIKSAAN FISIK
v  Inspeksi :  apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan  terdapat tanda-tanda adanya urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
v  Palpasi : ada nyeri tekan  pada kemerahan
v  Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
v  Auskultasi : mendengarkan bunyi napas, bunyi jantung, bunyi usus( lantaran pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

F.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
§  Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup ibarat tungau, kapuk, abu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen kuliner ibarat susu, telur, kacang, ikan).
§  Darah tepi : jika eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
§  IgE total dan spesifik: harga normal IgE total yaitu 1000u/l hingga umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya memperlihatkan bahwa penderita yaitu atopi, atau mengalami infeksi benalu atau keadaan depresi imun seluler.
§  Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
§  Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
§  Biopsi usus : sekunder dan sehabis dirangsang dengan kuliner food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
§  Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
§  Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

G.    DIAGNOSTIK
Ø  Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, contohnya : stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
Ø  Reaksi lantaran kontaminan dan bahan-bahan aditif, contohnya : materi pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), basil (Salmonella, Escherichia c0l1, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), benalu (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
Ø  Reaksi psikologi

H.    PROGNOSIS
Alergi kuliner biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna lantaran alergi kuliner juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan sikap yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun  alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan tanda-tanda alergi kuliner dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa tanda-tanda Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak  periode usia tersebut. Meskipun alergi kuliner tertentu biasanya akan menetap hingga dewasa, ibarat udang, kepiting atau kacang tanah.



DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.p.370-83
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC. www.medikaholistik.com
Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran: Pathologic basis of disease. 7th ed. China: Elsevier Saunders; 2005.
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi 6.Jakarta:EGC.


Sumber http://macrofag.blogspot.com