Random post

Saturday, February 23, 2019

√ Puisiku Yang Kebelet


Awal SMA, Itu jaman dimana Aku harus banyak menyesuaikan diri dengan sekolahan baru. Sekolah Menengan Atas yang saya masuki ialah Sekolah Menengan Atas yang unggulan di kabupatenku. Setiap pelajaran yang kami hadapai terasa sangat melelahkan terutama alasannya yaitu banyaknya tugas. Namun ditengah hujan kiprah itu ada sebuah manuver keren yang dilakukan oleh guru Bahasa Indonesiaku, dalam setiap mata pelajaran Bahasa Indonesia kami disuguhi permainan-permainan unik yang entah dari mana asalnya menciptakan kami refresh. Ibu Evi Namanya. Dalam setiap sesi mengajarnya Ibu Evi mengutamakan praktik eksklusif mengenai Bahasa Indonesia daripada harus membaca banyak teori-teori yang membosankan. Dalam praktek itu saya pernah menciptakan pantun, cerita, portofolio dan yang paling sering kami lakukan yaitu menciptakan Puisi.




Setiap guru punya peraturan masing-masing disetiap kelasnya. Guru matematikaku itu , memberlakukan peraturan telat itu kena marah, dan dihentikan izin ke toilet, telat atau tidak mengerjakan kiprah itu tidak sanggup nilai. Itu tampaknya menyiksa, namun mengajarkan kita kedisiplinan. Tapi itu lebih gampang dilakukan, dibandingkan peraturan Bu Evi di kelas. Ibu Evi memberlakukan peraturan, telat tidak papa, izin ke toilet juga boleh, tapi harus melaksanakan perizinan dengan memakai Puisi, Sedangkan untuk yang tidak mengerjakan kiprah akan disidang.


Mekanisme sidang ini juga unik alasannya yaitu ada pengacara yang akan membela kita, dan itu dari sahabat sendiri. Jika pengacara gagal maka Wajib membaca puisi sebagai gantinya tugas, Kaprikornus pandai-pandailah menentukan kawan!.





Yah Kami Harus Berpuisi ketika Izin ke Toilet, dan itu mengagumkan. Jika saja peraturan yang sama ibarat pelaajaran matematika yang dihentikan izin ke toilet, Aku akan bersiap sebelum kelas masuk, sehingga ketika masuk Aku pastikan tidak kebelet buang air. Tapi untuk peraturan yang bebas ibarat ini saya sanggup saja terjebak kebelet di dalam dan harus menciptakan puisi. Peraturan yang santai ini akan gampang untuk mereka yang anak teater. mereka dengan gampang mengekspresikan kebelet mereka melalui puisi. Bahkan tak jarang mereka yang tidak kebelet juga tampil membaca puisi, cuma untuk latihan tampil di depan teman-teman..




Hari itu Mendung, dan siangnya menghujan. Arsiran-arsiran air itu jatuh, diterpa angin dan membasahi tanah. Aku masuk kelas Bahasa Indonesia siang itu. di tengah hujan deras yang menciptakan saya kedinginan. Rasa hambar itu entah mengapa berevolusi menjadi kebelet pipis. Celaka! Ini musibah!. Aku bertahan, dan berfikir untuk tidak izin sampai kelas selesai. Kata Ayah berdoalah ketika hujan, alasannya yaitu do’a ketika hujan turun itu di dengar Allah. Aku berdoa “Buatlah hamba bertahan sampai kelas berakhir Ya Allah”. Namun Allah punya rencana yang jauh lebih baik. Allah takdirkan saya membaca puisi di siang itu. Siang yang hujan, siang yang mendung, ada rasa ngilu di hari itu.




Aku maju dengan rasa kebelet yang amat memuncak. Kemudian ketika saya menyampaikan mau izin ke toilet, seluruh kelas diam, kemudian wajah mereka sumringah dan tersenyum, ada kebahagiaan tak terperi ketika melihatku menderita. Ya itulah teman, sahabat yang setiap harinya ku jahilin, dan kukerjain. Hari ini mereka menuntut balas dendam. Aku maju tanpa selarikpun puisi di kepalaku.




“Bu evi yang cantik, lihatlah sore ini hujan begitu deras


Itu tangisanku alasannya yaitu hukumanmu ini,


Adakah setitik iba di hatimu?


Tuk biarkan Mahfuzh yang baik berlalu


Tanpa hukuman, tanpa Puisi”


Untuk perizinan noermal itu akan eksklusif mendapat izin. Namun ketika ini tampaknya ada badut yang sedang menyerahkan diri. Ibu evi bertanya kepada teman-teman “Diizinkan tidak??”


Sudah dipastikan temanku yang baik itu membatu perasaannya. “Tidak buu.. Kurang Ekspresif!”




Siall.. Beginilah resiko berteman dengan para siluman rubah. Mereka akan terus tersenyum ketika kau panik dan terdesak. “Diulangi Fuzh, kurang ekspresif kata teman-teman kamu” Itu Ibu evi yang bicara.


Aku terdiam, Ibu evi sengaja mengerjaiku.. Ahh…


“Aduh..duh..duhh..


Kakiku merapat, otakku berantakan..


Aku Kebelet.. Aku kebeleet buuuu..


Aku mauu Piiiipiiis.. Udah nggak tahaaann.. Auhhh uhh uhh..”


Itu puisiku, dan sehabis itu saya berlari ke toilet secepat petir. Dhuar!!




 Setelahnya saya kembali ke kelas, kelas belum berlanjut, masih setengah kelas terpingkal-pingkal melihat kelakuanku. Dan terlihat rasa puas di wajah mereka.


“Harusnya kau masuk teater fuzh” Itu Ibu Evi yang bicara.


Aku hanya berlalu dengan kesal dan merasa dikerjain, di khianati teman-temanku. yang niscaya Hal yang sama akan saya lakukan jikalau Aku jadi mereka.




Ahh.. Betapa rindunya saya dengan momen-momen ketika itu. Momen ketika Berkumpul dengan sahabat sekelasku..




Malang, Oktober yang menggembirakan, kakakku wisuda.


@MahfuzTnT


Sumber https://mystupidtheory.com