Seminggu ini saya sangat erat dengan Pak Nur Muhammadian. Beliau Ialah pengusaha, trainer, penulis dan mantan seorang profesional di sebuah perusahaan seluler ternama. Kami melaksanakan letihan Presentasi yang hidup, menarik dan tidak menciptakan ngantuk. Semuanya harus dilatih, itu biar meminimalkan kesalahan kita dihadapan audiens nantinya. Dan yang paling menarik ialah dia selalu mengajarkan dan mengajak kami untuk melaksanakan profesional dalam bekerja. Yah! Hidup efektif ialah motto beliau.
Berbicara mengenai profesional dalam bekerja, saya jadi teringat akan bencana yang pernah kulalui bersama ayahku. Itu dikala dimana ayahku berkunjung ke Malang, mengunjungi anaknya yang malang ini. Ayahku kebetulan libur dari kegiatan mengajarnya, Ia izin alasannya mengikuti peatihan guru mata pelajaran. Karena pelatihannya di pulau jawa, maka ayahku mempir ke Malang.
Itu sore yang kecut, ada warna oren jeruk dilangit sore itu. Aku dan Ayah sedang jalan-jalan, menyusuri kota Malang. Ayahku sudah sangat mengenal Malang, alasannya dia pernah kuliah di malang beberapa tahun. Jalan-jalan kami tertuju pada Alun-Alun, kata ayah di sana cukup banyak kenangannya dulu. Aku dikala itu beum pernah ke Alun-alun, alasannya sibuk terus di kampus dan di kamar tidur. Aku pikir kenangan ayah dikala di alun-alun itu semuanya indah, ternyata tidak juga.
Kami turun dari angkot dengan santai, mungkin semua orang akan tahu kami ialah ayah dan anak hanya dengan sekali lihat. Aku ialah kopi paste dari ayahku, wajah kami mirip, perawakan menyerupai juga dan kelakuan kami? entahlah mirp atau tidak yang terang kami kompak sebagai ayah dan anak.
Nampaknya melihat alun-alun yang dikala ini, Ayah kecewa, alasannya terasa kotor dan dipenuhi pengemis. Kami duduk di satu daerah lesehan, memesan minuman, kami sudah makan siang itu. Perlahan namun niscaya muncul seorang anak kecil, ada gitar mini di tubuhnya. Ia tiba dan mulai menyanyi, saya dan ayah cuek, minum dan mengobrol. Tak usang si bocah tamat menyanyi, Ia menyodorkan bungkus permen sebagai daerah uang. Kemudian ayah bertanya:
“Tadi lagunya sudah selesai?” Itu bunyi ayahku, merdu juga bila kau dapat dengar.
“Sudah pak” itu bunyi si bocah ngamen, lebih merdu, berusaha menyaingi.
“Kalau saya kasih segini kau terrima tidak” Ayah menyodorkan selembar uang seribu rupiah
“Iya pak, terimakasih, saya terima donk” wajahnya tersenyum
Lalu sehabis itu ayah menarik kembali uang seribuan itu, dan mengeluarkan uang dua puluh ribu rupiah.
“Yaudah kau nyanyi lagi buat saya 20lagu, nanti saya kasih uang dua puluh ribu” Itu bunyi ayah saya, kali ini terdengar bunyi aslinya
“Dua puluh lagu pak? lagunya itu full pak?” Si bocah mulai tak percaya
“Iya full, nanti sehabis nyanyi saya kasih 20.000”
Si Bocah mulai menyanyikan lagu, lagu apa saja, alasannya tohh ayahku tidak suka mendengar musik, jangankan hafal nada lagu, judul lagu saja dia tidak perduli. Aku hanya dapat tertawa, melihat tingkah Si bocah yang menyanyi.
“Kuat berapa lagu dia bi?” Aku senyum-senyum
“Biarkan aja, paling juga empat lagu udah KO”
“Kayaknya semangat banget tu anak”
“Iya gres lagu pertama,” jawab ayah usil
sesuai perkiraan, si bocah sudah mulai kebingungan di lagu ketiga. Nafasnya tersengal-sengal menyerupai lari maraton, tangannya bergetar melebihi getaran dawai gitarnya, lidahnya terlipat terpelilit memainkan cengkok nadanya dan Si bocah menyerah. Melihat anak kecil itu kecapean ayah kasih dia minuman, dia beli dengan uang 20.000nya itu. kemudian sisa uangnya itu dia bayarkan upah nyanyi untuk Si anak kecil itu. Aku tertawa, ayahku senym. dan sore gelap. Adalah kegelapan malam yang menyelimuti kota Malang yang dingin. Momen yang mengagumkan.. Aku & Ayahku
Malang, oktober pengalaman Istimewa hari ini.
Mahfuzh TnT
Sumber https://mystupidtheory.com