Bismillahirrohmaanirrohiim…
Tulisan ini merupakan kisahku yang (mungkin) ada hubungannya dengan
sains. Tulisan dengan judul dan isi yang agak-agak norak (somoga yang punya blog mau bantu ngedit).
Sepotong dongeng dari bocah tempat yang SMA-nya masuk jurusan IPA,
namun tiba-tiba ‘murtad’ jurusan ketika kuliah malah nyemplung di prodi
Sejarah. Yang lebih anehnya lagi, sambil menikmati tingkat
akhirnya, ia kini malah nyasar jadi guru di sebuah SD swasta. Ya begitulah,
hidupnya sering terombang-ambing mirip bahtera di lautan lepas.
Hahaha..
Guru di Sekolah Alam
Aku selalu suka dengan waktu dhuha, ketika dimana mentari kembali
mengantarkan hangat untuk bumi. Sinarnya menembus teralis besi yang
jendelanya sengaja kubuka, membiarkannya menerpa wajahku yang lekat
memandangi halaman sekolah dari dalam ruang guru, di sekolah tempatku
mengajar.
Dalam hitungan menit, saya dapat menyaksikan pemandangan yang
berbeda, dari lengang menjadi riuh ramai. Yaitu ketika mobil-mobil
jemputan tiba dan menurunkan anak-anak. Menghamburkan tawa, keceriaan
atau kadang tangisan. Mau tidak mau—suka tidak suka, mereka harus siap
untuk berguru dan bermain hari ini, di sekolah ini. Sekolah yang
kelas-kelasnya tak mempunyai tembok sama sekali. Hanya berupa saung
sederhana dengan atap jerami dan lantai yang terbuat dari kayu. Kelas
yang penuh dengan keceriaan di dalamnya.
Bila jam istirahat tiba,
anak-anak bebas berlarian bahkan loncat dari satu saung ke saung yang
lainnya, layaknya seekor tupai. Kami menyebutnya dengan nama; Sekolah
Alam. Sekolah yang mengajarkan hakikat sebaik-baiknya pembelajaran;
kembali pada alam. Sekolah yang menerimaku sebagai seorang guru, guru
yang apa adanya..
Sekolah Alam |
Hari itu saya kebagian mengajar pelajaran sains di kelas tiga. Sebagai guru (baru) yang enggak mau dibilang kurang ‘piknik’, kuusahakan setiap pembelajaran dibentuk semenarik mungkin dan berbeda (walaupun pada kenyataannya suasana kelas kadang monoton dan membosankan XD). Namun hari itu saya belum menyiapkan media berguru apapun untuk pembelajaran. Begadang semalaman guna menuntaskan beberapa goresan pena dan kiprah kampus membuatku lupa ada beberapa pelajaran yang belum disiapkan. Salah satunya yakni pelajaran sains di kelas tiga ini.
Belajar Tentang Awan Bersama Anak-anak
Sesampainya di kelas, saya menyimak do’a, membalas salam, menyapa anak-anak, bertanya kabarnya, dan tak lupa melaksanakan penilaian shalat mereka. Rutinitas awal mirip biasanya. Kemudian saya membuka buku paket sains, ternyata cuilan yang akan saya ajarkan hari ini yakni perihal cuaca dan musim. Salah satu sub babnya yakni perihal macam-macam awan.
Seketika itu mataku tertuju pada hutan bambu di belakang sekolah. Sejurus kemudiaan menyeret penglihatanku ke atas langit diantara rerimbun pohon bambu tersebut. Yes! Langit lagi cerah-cerahnya. Gumamku, girang. Dalam pikiran terbersit pandangan gres licik untuk lari dari tanggung jawab mengajar sains hari ini *ketawa jahat*.
Aku: Hari ini siapa yang belum sarapan?
Murid-murid: (ada yang jawab sudah, ada yang jawab belum, beberapa diantaranya hanya mengangkat tangan tinggi-tinggi)
Aku: Coba kalian lihat cuaca hari ini! Cerah sekali, kan?
Murid-murid: iya buuuu, cerah banget..
Aku: Baiklah. Sebetulnya ibu pengin banget berguru bareng dengan kalian pagi ini. Tapi sebab cuacanya cerah dan sayang bila dilewatkan, bagaimana kalau kita pergi piknik ke hutan bambu di belakang sekolah sambil menghabiskan bekal? Yang setuju, cung!
Koor bawah umur mengangkat tangannya sambil bilang setuju.
Singkat cerita, kami sekelas pergi ke hutan belakang sekolah. Aku mengutus beberapa anak pria untuk meminjam karpet milik sekolah. Kami duduk-duduk santai lantas membuka bekal kudapan yang bawah umur bawa dari rumah (hampir semua murid-muridku membawa bekal dari rumah, sebab sekolah melarang adanya aktifitas jajan di lingkungan sekolah). Aku tersenyum sambil memandangi wajah ceria anak-anak, kemudian menatap langit pagi itu yang terlihat lebih cerah. Aku siap melaksanakan kajian perihal awan
“Kalian tahu gak? Ternyata awan-awan di langit juga punya nama menurut ciri-cirinya, loh.” kataku sambil memandang langit. Beberapa anak mengalihkan pandangannya ke langit, ikut menatap awan mirip yang dilakukan ibu gurunya.
“Nah, lihat gumpalan awan putih yang mirip kembang kol itu! Itu namanya awan kumulus,” Dengan besar hati saya menunjukkan segumpalan awan putih yang cuilan atasnya memang mirip bunga kol. Beberapa anak bilang kalau itu lebih mirip dengan biri-biri berbulu tebal. Adapun yang menganggapnya lebih mirip gula-gula yang sering dijual di pasar malam, tinggal dikasih pewarna pink saja katanya, hahaha.
“Kalau yang di atas awan kumulus, itu namanya awan sirus,” kataku lagi sambil menunjukkan awan yang mengembang tinggi di atas awan kumulus. Berbeda dengan awan kumulus, awan sirus berbentuk serabut-serabut halus berwarna putih.
“Awan kan yang menurunkan hujan ya, Bu?” tanya salah satu dari mereka.
“Ih, bukan! Yang menurunkan hujan itu Allah subhanahu wataala,” jawab temannya dengan memasang wajah serius.
Hahaha… saya tertawa dibuatnya.
Selanjutnya saya menjelaskan beberapa jenis awan lainnya. Anak-anak antusias menentukan awan sembari ngemil dan menyimak penuturan ibu gurunya.
Pagi itu, bawah umur tampak menikmati piknik mereka. Sedangkan ibu gurunya juga cukup puas merasakan aneka macam macam bekal kudapan yang ditawarkan murid-muridnya. Sepulang sekolah, bawah umur itu akan bercerita pada orang tuanya, kalau pelajaran sains hari itu diganti dengan piknik di hutan bambu belakang sekolah. Namun satu hal yang tanpa mereka kira sebelumnya, piknik kali ini ternyata disusupi ilmu perihal macam-macam awan dan ciri-cirinya.
Selanjutnya, giliran ibu gurunya yang pusing memutar otak menentukan metode belajar selanjutnya.
Sumber https://mystupidtheory.com