Wihh.. Dua hari ini ninggalin blog lagi. Semoga saja para pembaca blog ini makin betah melihat tingkah admin blog yang tidak karuan. Kali ini saya tiba dengan segenggam materi goresan pena seputar budaya antri di Jepang, materi ini kuperoleh ketika perjalanan singkatku di Jepang dan perjalanan pendekku mengunjungi bandara di beberapa negara (cuman transit bandara sih.. wkwkwk)
Legenda Budaya Antri Jepang
Fakta Budaya Antri di Jepang
Pada hari pertama saya pergi ke Jepang, saya eksklusif disuruh mengantri panjang. Itu yakni untuk investigasi paspor dan visa perjalanan. Ini memakan waktu yang cukup panjang, tetapi saya tidak punya pilihan lain selain mengantri. Di barisan antrian ini, semuanya ialah orang abnormal yang akan masuk ke Negeri Sakura, dengan banyak sekali tujuannya.
Sayangnya ketika mengantri ini, saya diapit oleh orang Indonesia, bukannya sombong sih, tetapi jujur saja saya lebih ingin pengalaman ngobrol banyak dengan bule-bule dari banyak sekali negara, praktek bahasa Inggrisku yang pas-pasan ini, dibandingkan harus berbicara pakai bahasa Nasional. Kalian sudha baca kan kalau saya pernah 12 jam di Jepang Without Indonesian
Selepas dari bandara, saya mengantri untuk kedua kalinya ketika mau masuk bus. Ini konyol menurutku. Dimana di Indonesia kalian mengantri hanya untuk masuk bus? Di Indonesia bahkan bus punya pintu depan dan belakang, kalau yang depan sesak kita lewat pintu belakang. Sedangkan di sini budayanya kita harus mengantri, berbaris (bahkan di suruh lurus oleh penjaganya). Aku berada di barisan paling depan lantaran memang sesudah makan saya tidak ada kerjaan lagi di bandara, kesannya saya eksklusif saja menuju pemberhentian bus menuju Kota Okayama.
Disitu saya berfikir, oleh alasannya yakni apa naik bus aja perlu mengantri? Tetapi memang masuk nalar juga kalau alasannya gini. Jika bus berkapasitas 60 orang, kemudian yang ingin naik bus ialah 80 orang, maka 20 orang harus menunggu bus berikutnya. Artinya, jikalau mengantri, maka 60 orang pertama akan naik lebih dulu dan 20 orang yang paling terlambat harus menunggu bus berikutnya, ini fair dan menuntaskan banyak masalah.
Bagaimana kalau tanpa mengantri (read: di Indonesia)? Bus berkapasitas 60 orang, yang ingin naik bus ialah 80 orang. Akan ada dua solusi, pertama 80 orang dipaksa naik dengan catatan 20 orang berdiri sepanjang perjalanan dan yang kedua ialah 60 orang naik dengan jalan berebutan masuk bus, dan yang 20 orang “salah elu nggak mau dorong-dorongan masuk pintu bus”. 😛
Pengalaman berikutnya seputar budaya mengantri di Jepang ialah ketika saya di minimarket. Ini yakni pengalaman yang biasa aja, ibarat kalau di Indonesia kita masuk Alfamark yang banyak pengunjungnya dan mengantri untuk pembayaran. Sama persis, di Jepang kita juga harus mengantri.
Pelayan Antrean
Mengantre-nya sama, kita harus berbaris di depan kasir, tetapi ada sedikit perbedaan pada kasirnya. Pernah nggak kalian merasa ada dua orang kasir atau pelayan yang secara kurang didik dan nggak tau diri, melayani kita sambil mengobrol satu sama lainnya? Ini yakni kasir-kasir sialan yang selalu bikin saya kesel. Yap, Kesel banget!
Di Jepang, hampir semua petugas kasir, pelayan tiket dan semua jenis pekerja yang melayani antrian, tidak melaksanakan interaksi kecuali dengan customer(yang sanggup giliran antrian).
Di Jepang, orang-orang mau mengantri panjang dan berbaris rapi, lantaran melihat kinerja petugas loket dan kasir yang begitu ulet melayani pengantri. Tidak ada model pekerja yang ngobrol ngalor ngidul ketika melayani pelanggan. Inilah yang menjadikan orang-orang mau mengantri panjang dimanapun di Jepang.
Secara Psikologi, gimana perasaanmu kalau lihat antrian panjang, tetapi pekerja loketnya kerja dengan sangat cepat tanpa istirahat, apalagi ngobrol? Pasti nyaman-nyaman aja kan? Itulah yang terjadi.
Jadi petugas loket di Indonesia jangan cuma teriak-teriak “budaya Antri di Indonesia ini buruk, cacat dan salah total” tetapi lirik juga kinerja kalian. Apakah kinerja kalian udah “worth to wait” atau masih seenaknya sendiri dan ngobrol sementara ada antrian panjang di depannya?
Aku rasa pemerintah Indonesia tidak perlu lagi teriak-teriak soal budaya mengantri masyarakat, lebih baik tingkatkan pelayanan antrian. Bisa jadi masyarakat kita tidak suka mengantri lantaran memang kinerja petugas loketnya yang nggak jelas. Mengantri panjang untuk penunggu loket yang ngobrol di telepon, ngobrol dengan temannya, ngobrol dengan adiknya suaminya mboknya pakdenya adik ipar, atau bahkan mengantri untuk petugas loket yang tutup tiba-tiba, gimana kita sanggup tahan?
Terakhir, itu semua tidak hanya terjadi di Indonesia. Dalam perjalanan pulang, saya hinggap di Taiwan dan Singapura.
Di bandara Taiwan, Taipei, petugas bandara bekerja sangat lambat, bahkan menurutku cara kerjanya “Indonesia banget”, banyak mengobrol dengan temannya. Saat itu, saya mengantri setidaknya selama satu setengah jam dan sama sekali tidak dilayani. Mungkin belum jam operasinya, tetapi sialnya tidak dicantumkan jam operasinya. Itu menciptakan saya jadi harus menunggu terus.
Selama saya menunggu itu, petugas bandara yang berada di loket hanya mengobrol, ya mengobrol entah apa yang dibicarakan. Tetapi tampaknya asik banget. Setelah sekitar satu setengah jam dianggurin, kemudian sekitar 30 menit kemudian gres saya sanggup giliran. Sangat berbeda dengan ketika di Jepang.
Sedangkan ketika di Singapura, pelayannya dan budaya mengantri sudah cukup baik, tetapi masih ada pekerja loket yang mengobrol ketika melayani customer, ini cukup mengganggu kurasa. Terakhir, jangan ditanya ketika hingga di bandara Internasional Juanda. XD
Itulah sedikit banyak, curhatan wacana Jepang. Curhatan lainnya ialah awal mimpi ke Jepang, persiapan menciptakan visa jepang di surabaya dan perjalanan mencari masakan halal di Jepang.
Thanks udah pada mau baca, saya biarin kalian komen, kalau mau. 😛
Sumber https://mystupidtheory.com