Random post

Friday, September 14, 2018

√ Pendidikan Abjad Anak Dalam Summer Camp Di Jepang – Mencar Ilmu Bekerja Dan Berproses

Salah satu pengalaman paling berharga dikala liburan ekspresi dominan panas kemarin ialah sanggup kesempatan untuk ikut Summer Camp bersama belum dewasa kecil di Jepang. Awalnya saya memang sudah membayangkan untuk ikutan summer camp di Jepang. Soalnya dari banyak anime yang saya tonton (terutama anime sport), summer camp di Jepang itu seru banget. Begini pengalamanku:


Kebetulan dikala liburan ekspresi dominan panas saya sempat main-main ke L-Cafe. Dari cafe ini saya sanggup info lowongan untuk menjadi tamu internasional yang akan mengajari belum dewasa berbahasa Inggris di summer camp. Mendengar itu saya eksklusif mendaftar. Kan asik, selain main-main dan melihat budaya summer camp, juga dihitung baito (kerja part time).



Kami berangkat pada hari Jum’at. Seperti biasa, transportasi yang paling sanggup diandalkan di Jepang, kereta api alias densha. Dari Okayama st. kami menuju ke Yoshinaga st. lokasi acaranya di Bizen, masih belahan dari Perfektur Okayama. Ini map-nya:



Setelah satu setengah jam duduk di densha alhasil kami hingga di lokasi. International student yang hadir berasal dari beberapa negara, tiga orang cewek dari vietnam, kemudian satu perjaka dari Inggris, satu Iran, satu Turki dan saya sendiri.


Awalnya saya kira penerima yang katanya belum dewasa ini yaitu anak Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas sebab memang di Jepang Bahasa Inggris gres menjadi pelajaran wajib di dingklik SMP. Tetapi ternyata yang hadir ialah belum dewasa kecil kelas SD, dan yang mendominasi ialah usia kelas 1 hingga 3 SD. Dari situ saya mulai bingung, “Lahh ini anak mau diajarin Bahasa Inggris gimana caranya kalau nggak ada bahasa pengantarnya? Aku kan nggak sanggup Bahasa Jepang?”.


Belajar Bahasa Inggris


Acara pertama pada hari ini ialah pembukaan, ibarat biasa yang sudah melegenda, program ini dilaksanakan tepat waktu. Semua anak berbaris di lapangan dan tepat ketika kami sudah berbaris rapi di lapangan, hujan turun, alhasil kami mengungsi ke dalam teras gedung dan pembukaan dilakukan disana.











Beberapa menit sebelum hujan

Setelah itu masuk ke acara berguru Bahasa Inggris di ruangan kosong (semacam aula/gym). Dalam jadwal acara, tertulis bahwa kami akan menceritakan perihal negara kami masing-masing. Tapi nggak pernah ada info bahwa kami akan menceritakannya di depan anak SD.



Di awal masuk ruangan kami sudah diminta untuk menceritakan perihal negara asal kami. Aku juga masih galau bagaimana harus mulai, sebab hanya disediakan peta dan bendera negara. Diminta menjelaskan perihal Indonesia ke belum dewasa usia 6-11 tahun yang mereka nggak ngerti Bahasa Inggris itu gimana yah.. Sulit!



Akhirnya saya hanya menjelaskan beberapa hal yang sanggup diperagakan di depan anak-anak, seperti; Di indonesia panas sepanjang tahun ibarat di Okinawa, di Indonesia banyak orang, di indonesia ada banyak pulau ibarat di Jepang, Indonesia mempunyai banyak bahasa, dll.


Tak cukup hingga disitu, ternyata sesi berikutnya ialah sesi tanya jawab. Wow! Kaprikornus apa yang sudah kami ceritakan akan kami tanyakan, tetapi pertanyaanya harus dalam bentuk balasan “ya” atau “tidak”. Kami mahasiswa internasional yang sama-sama nggak siap eksklusif berpandangan dan berharap seseorang mulai duluan. Sederhana, tetapi berkesan buatku. Berkesan sebab saya dipaksa berfikir keras ditempat. XD











Sesi pertanyaan

Belajar Memasak Dengan Tungku dan Kayu Bakar


Setelah berguru Bahasa Inggris yang tidak seberapa itu, kami lanjut ke program berikutnya yaitu masak-masak dan makan. Dalam deskripsi kegiatan, kami diperlukan mengajarkan belum dewasa perihal peralatan masak yang akan kami gunakan dalam Bahasa Inggris. (tetapi dalam prakteknya kami asik masak dan lupa perihal ini).


Awalnya sih saya juga mikir “Waduh.. Anak-anak kecil gini diajakin masak? sanggup jadi juga nggak nih?” dan untuk memperparah prasangka burukku itu, kami harus berjalan cukup jauh, sekitar 20 menit, masuk ke kawasan dalam hutan untuk memasak, dan memasak dengan tungku dan kayu bakar. Komplit dahh!


Baca Juga: Pendakian Gunung Fuji Jalur Kawaguchiko



Sebelum memasak kami dikumpulkan di ruangan (semacam aula juga), kemudian diberikan pengarahan terkait peralatan yang akan digunakan, penjelasannya ini sangat panjang, mendetil dan tentu saja tidak saya pahami sebab memakai Bahasa Jepang. Setelah mendengarkan intruksi panjang itu, kami eksklusif bergerak mengambil materi kuliner dan peralatan yang akan digunakan. Ternyata belum dewasa kecil ini sanggup eksklusif bekerja hanya dengan satu kali instruksi.


Anak-anak yang kecil-kecil (usia 6 tahunan) eksklusif mengambil tempat masak nasi, memasukkan beras ke dalamnya dan mencuci beras tersebut. Sedangkan anak yang cukup besar (sekitar 9-11 tahun) eksklusif mencuci sayuran dan berusaha memotong-motong sayuran. Ngeri juga pas lihat cara memotong sayurannya, alhasil saya ambil pisau dan memotong juga biar cepat selesai (mumpung jari-jari mereka masih utuh). Ternyata belum dewasa pada lihatin cara motongku, katanya “jozu!” (mahir nih!). Kemudian mereka saya ajarin cara motongnya biar setidaknya di kuliner ini nanti tidak ada rasa daging dari jari-jari kecil mereka.



Urusan nyalakan api semuanya sudah diurus oleh pak guru-nya. Akhirnya nasi kami taruh tungku api. Menyusul kemudian ialah panci untuk memasak kari. Penyedap rasanya eksklusif pakai bumbu kari instant (kemasan) aja, mudah tinggal kasih air dan masukin bahan. Ternyata semua prosesnya berlangsung dengan lancar, nasi sebentar lagi matang, kari sudah dimasak, tinggal menunggu waktu saja hingga wortel di kari menjadi empuk. Artinya kami sudah selesai dengan kuliner ini, tinggal menunggu.


Berhubung masak-masak ini ketika hujan, maka semua belum dewasa berkerumun di erat tungku. Selain menunggu matang, mereka juga menghangatkan tubuh. Nah.. semenjak dari motong-motong sayur itulah saya jadi deket dengan belum dewasa ini. Walaupun komunikasinya masih terbatas, tetapi sudah ada interaksi yang menyenangkan dengan mereka. Alih-alih saya mengajari Bahasa Inggris, disini saya malah banyak berguru kosa kata dan grammar bahasa Jepang.


Makanan Harus Halal


Tak usang kemudian nasi telah matang sempurna, tetapi masih kami biarkan tertutup biar tetap panas, sebab kari-nya belum matang. Sementara menunggu kari matang, saya memasak kuliner instant. Iya, kan kari yang kita masak sebelumnya itu ada bumbunya dari kaldu sapi, kemudian ada potongan daging-nya yang juga nggak halal. Sebelumnya saya sudah pesan sih kalau nggak akan makan daging dan kaldu yang nggak halal, juga minta siapkan aja sayuran atau tahu mentah (karena ikan wilayahnya sulit sanggup ikan), saya sih nggak terlalu peduli dengan makanan, asalkan halal udah cukup.  Tapi mereka bilang “Kamu juga harus makan kuliner yummy ibarat yang kami makan” dan alhasil mereka mendapat kuliner halal instant yang kemungkinan besar mereka cari di departement store kuliner impor.











Itadakimasu!










M: Enak nggak? | A: Enak yo! Mau bang? | M: -__-

Bersamaan dengan matangnya kari yang kami masak, kuliner instant-ku juga sudah hangat. Yuk makan.. Yeah! Semua mengambil piringnya masing-masing, ambil nasinya kemudian kari, dan duduk bagus di bawah gubuk. Setelah semuanya anak siap, kami bagikan pisang sebagai kuliner penutup. Dan pisang yang dibagikan ini hanya setengah pisang untuk setiap anak. Aku ketawa pas membagikan pisang itu. Soalnya gini, nggak pernah kebayang kalau akan ada moment dimana saya ‘cuma’ sanggup makan pisang setengah buah. Kalau di rumah (Kalimantan), pisang itu sudah hingga dibuang-buang dan buat kuliner ayam dan mentok. Di sini, pisang ini terbilang mahal, kalau di rupiahkan sekitar Rp. 13.000 perbiji. Lumayan mahal kan?











M: Di Indonesia pisang banyak lho | A: He, Beneran? | M: Iya!

Setelah selesai makan, belum dewasa berguru membersihkan piring kotor dan semua peralatan masak yang digunakan. Semuanya harus higienis ibarat semula. Aku mencuci panci hitam yang digunakan masak kari, sehabis kucuci dan kuanggap bersih, alhasil kami kembalikan ke belahan peralatan. Ini yang menarik, ketika dikembalikan itu ditolak sama petugasnya, katanya panci yang saya basuh kurang bersih. What? Ternyata mereka maunya gosong dan angus bekas di tungku api itu harus higienis juga. Akhirnya saya gosok dah belahan luar pancinya dengan lebih serius. Setelah itu kami kembalikan peralatannya. Dan yah.. Ditolak lagi. Penolakan yang kedua ini beliau tunjukkan kalau pancinya itu sanggup lebih bersih, jadi petugasnya memperlihatkan cara membersihkannya dan “sampai seberapa bersih” hingga pancinya itu gres sanggup dikembalikan. Akhirnya pada pengembalian ketiga kami sanggup bernafas lega dan istirahat.


Pada rangkaian program masak-masak dan makan ini bersama-sama suatu pendidikan abjad yang mereka terapkan pada anak. Awalnya belum dewasa diajarkan bahwa kuliner yang mereka nikmati setiap harinya itu perlu perjuangan untuk sanggup tersaji di piring. Ketika mereka mencuci beras, memotong sayuran dan menanak nasi, itu semuanya sebuah pendidikan bahwa “Apa yang kau makan itu hasil dari kerja seseorang. Entah kau sendiri atau orang lain”


Hal lain yang dipelajari secara tidak sadar yaitu bahwa segala sesuatunya butuh proses. Ngapain coba masak harus di tungku dan pakai kayu bakar? Emangnya panitia nggak sanggup menyiapkan majikom dan kompor listrik untuk penerima camp? Aku tekankan yah.. Jelas bisa! Sehutan-hutannya Jepang, itu listriknya lancar dan ada microwave, mesin cuci, kulkas dan pemanas air. Artinya ada tujuan lain kenapa memakai tungku dan kayu bakar. Ini mengajarkan belum dewasa untuk sabar dalam berproses. Proses matangnya nasi dan kari di tungku itu nggak sanggup dipaksakan, nggak  dipercepat ataupun diselesaikan. Ini yaitu proses yang tidak instant. Mereka harus menunggu dan sabar menanti matangnya.


Terakhir ialah pelajaran yang tak kalah penting, bahwa semua kekotoran yang mereka buat harus mereka bersihkan hingga higienis ibarat sedia kala. Kalau melihat apa yang diajarkan disini, maka nggak akan heran lagi kalau di Jepang itu setiap kali ada party niscaya eksklusif beres, semua sampah dan kotoran akan eksklusif bersih, ruangan kembali ibarat semula. Ini yaitu hasil dari pendidikan abjad belum dewasa Jepang di usia dini.


Baca Juga: Pesta Kembang Api Tahunan di Jepang




I’m A Muslim


Selama istirahat di ruangan sambil menunggu program berikutnya, Pak Guru mempersilahkan untuk belum dewasa bertanya. Yang berkesan ialah, Pak Guru menyuruh belum dewasa bertanya “Kenapa makananku berbeda sendiri dari yang lainnya? Kenapa tidak makan kari yang kita buat?”. Awalnya saya menjawab dengan balasan yang gampang dipahami anak-anak. Aku jawab “Aku nggak sanggup makan daging disini”.


Nah menariknya lagi ialah Pak Guru tiba lagi dan mengecek apakah belum dewasa sudah mendapat balasan atas pertanyaan tadi. Anak-anak jawab ibarat yang saya bilang, tetapi rupanya Pak Guru maunya saya jelaskan “the real truth”. Akhirnya kujelaskan “Aku ini muslim, kami muslim hanya sanggup makan daging sapi kambing dan ayam yang dibunuh(disembelih) oleh orang muslim. Kaprikornus daging di Jepang yang dibunuh oleh orang Nonmuslim tidak sanggup saya makan” kemudian ada yang berkomentar “Waah.. Susah yah…” saya jawab dengan gampang “Enggak kok.. Kami sanggup makan semua sayuran dan semua yang berasal dari laut. Dan orang Jepang sangat suka dengan hasil laut, jadi sangat gampang untuk mendapat kuliner halal”.


Dari kejadian ini saya melihat sisi menarik dari Pak Guru tadi. Dia seperti berharap belum dewasa ini mengenal dunia luar, bahwasannya ada yang namanya orang Muslim, orang yang tidak sembarangan makan daging. Kemudian selama interaksi dengan belum dewasa ini, mereka cukup nempel gitu ke aku. Aku harap sih ini menawarkan kesan bahwa “Orang Muslim baik-baik kok” dan sanggup menghilangkan muslimphobia.


Well.. Sampai sini dulu ceritanya.. Berikutnya masih lanjutan dari pengalamanku di Summer Camp ini, yaitu Pendidikan Karakter Anak Jepang – Menghargai Karya. 


Silahkan share bila postingan ini bermanfaat.. Thanks for reading!



Sumber https://mystupidtheory.com