Yap, kali ini kita akan bahas perihal salah satu tokoh fiktif Frankenstein. Karakter ini sangat terkenal, hampir semua anak niscaya tahu, ada nggak sih dari kalian yang masih belum tahu? Pastinya udah pada tahu kan dengan legenda Frankenstein?
Legenda Frankenstein ini mewarnai berbagai kisah fiksi dan kartun-kartun di dunia barat, bahkan menjadi aksara yang sangat terkenal di ketika halloween. Darimana asal aksara frankenstein? Apakah frankenstein bekerjasama dengan temuan saintifik? Aku akan bahas di bawah ini:
Frankenstein by Mary Shelley
Jika kita kembali ke sejarahnya, Frankenstein merupakan sebuah judul buku karangan Mary Shelley yang terbit dan terkenal pada tahun 1818. Karena sangat populernya buku ini sehingga menjadi sebuah Legenda Frankenstein. Judul tersebut tolong-menolong diambil dari seorang tokohnya yaitu Dr. Victor Frankenstein, seorang anak bangsawan yang mendapat pendidikan tinggi.
Dalam ceritanya, Victor Frankenstein pertama kali terobsesi pada sains klasik dari Yunani dan Arab, kemudian ia pergi melanjutkan pendidikannya ke universitas Ingolstadt. Dalam pendidikannya seorang professor memperlihatkan pengertian bahwa apa yang dipelajarinya selama ini di kampung halamannya yaitu sains klasik.
Ilmu ini sudah tidak banyak dipakai lagi. Mendengar hal ini, Frankenstein selama kuliah mempelajari banyak bidang sains baru, dan memutuskan untuk menekuni bidang biokimia.
Setelah menuntaskan pendidikannya dan meraih gelar doktor, Victor Frankenstein semakin besar rasa ingin tahunya. Ia terobsesi pada proyek untuk membuat makhluk hidup. Ia mencoba merangkai daging sehingga mirip insan dan menghidupkannya.
Apa yang ia lakukan di laboraturiumnya ini sangat mengerikan, namun ketika itu ia hanya fokus pada hasil yang diharapkan. Pada akhirnya, makhluk tak bernyawa itu memperoleh kehidupan dan bergerak.
Pada ketika makhluk tersebut bergerak, ia gres menyadari kalau telah membuat sesosok makhluk yang sangat mengerikan dengan rupa menjijikkan dan badan yang besar mirip monster.
Akhirnya ia meninggalkan makhluk tersebut di ruang laboraturiumnya, dan mengabaikannya. Ia stress berat dalam waktu yang lama, dan tidak ingin kembali berguru sains ataupun ke laboraturiumnya.
Karena diabaikan oleh penciptanya, makhluk monster tersebut berjalan sendiri dan mempelajari bahasa, emosi dan budaya manusia.
Sayangnya alasannya rupa dan tubuhnya yang mirip monster, ia selalu diburu dan ingin dibunuh oleh manusia. Apapun yang dilakukannya untuk bersosialisasi berakhir dengan evaluasi jelek oleh insan alasannya tampilan luarnya.
Makhluk ini ingin bersosialisasi, mempunyai sobat dan mengobrol, tetapi alasannya tidak ada yang bisa menjadi temannya ia pun marah kepada penciptanya.
Secara kebetulan beliau menemukan seorang kecil yang merupakan anak dari keluarga Frankenstein (adik dari Dr. Victor Frankenstein). Karena ketika itu ia dikuasai kebencian terhadap penciptanya jadinya dibunuhnya anak kecil tersebut.
Ketika suatu ketika beliau bisa menemukan penciptanya dan meminta Dr. Victor Frankenstein untuk membuat makhluk serupa dengannya yang berlawanan jenis kelamin sebagai sobat berbagi. Ia juga berjanji untuk kemudian menjauh dari kehidupan insan bila permintaanya dipenuhi.
Jika tidak dipenuhi beliau akan membunuh lebih banyak orang yang disayangi penciptanya itu. Awalnya Dr. Victor Frankenstein setuju untuk membuatnya, tetapi kemudian ia menyesalinya dan berkhianat terhadap janjinya. Ia khawatir kalau adanya keluarga dari monster ini akan membawa kepunahan terhadap manusia.
Akhirnya Si Monster jelek rupa menghabisi orang-orang terdekat Dr. Victor Frankenstein sampai ia Mati.
Baca Juga: Mungkinkah Zombie Terjadi Secara Saintifik?
Legenda Frankenstein dan Film Fiksi Sains
Apakah ada dari kalian yang sudah nonton Film; Terminator, Bicentennial Man, ataupun Chappie? Walaupun berbeda ceritanya, alasannya ketiga film itu membahas perihal Robot dan AI (artifisial intelejensia) tetapi dari sisi konflik masalahnya serupa dengan Frankenstein.
Novel Frankenstein menyuguhkan sebuah pertanyaan fundamental bagi para kreator/pencipta akan nasib dari ciptaanya.
Pada titik tertentu dimana ciptaan tersebut mempunyai rasa mirip makhluk hidup maka pertanyaan-pertanyaan-pertanyaan filosofis ini patut diajukan. Pertanyaan-pertanyaan seperti:
- Bagaimana nasib dari ciptaan tersebut?
- Jika ciptaan tersebut melaksanakan kriminalitas, siapa yang bertanggung jawab?
- Jika ciptaan tersebut hidup dalam keadaan cacat, apakah itu kesalahan pencipta?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang seringkali diungkapkan pada film-film. Terminator berbicara perihal mesin yang melawan penciptanya. Chappie bercerita perihal robot yang ingin bebas selayaknya manusia. Sedangkan Bicentennial Man bercerita perihal robot yang mengerti budaya insan dan menginginkan jatuh cinta mirip manusia.
Sebenarnya terlepas dari tiga film ini mungkin ada banyak lagi film dengan konflik dan tema serupa. (sebutin donk di comment kalau kalian tahu)
Baca juga: Berapa Energi yang Dibutuhkan Harry Potter untuk Terbang?
Frankenstein dan Sains
Nah.. Kalau berbicara fiksi sains mirip sebelumnya, niscaya melihatnya bahwa konflik dalam novel Frankenstein ini yaitu sangat futuristik dan pertanyaan-pertanyaan perihal korelasi antara pencipta dan ciptaanya belum perlu dijawab.
Tetapi saya akan memperlihatkan beberapa pola perkembangan sains modern dimana sudah ada beberapa perkara yang memerlukan pembahasan filosofis mirip pada novel Frankenstein ini.
Pada Nobel Prize Dialogue April 2017 yang lalu, seorang professor di Jepang memberikan optimismenya perihal selfdriving car (mobil berjalan otomatis), dimana penumpang hanya perlu memberikan tujuannya. Mobil ini bisa beroperasi dengan ketepatan yang baik dan bisa mengenali pengguna jalan lainnya.
Tetapi dalam regulasinya, ketika keadaan terpaksa dimana kendaraan beroda empat mengalami kerusakan dan terjadi kecelakaan, akan menjadi pertanyaan serius siapa yang salah dan layak dipenjarakan? Apakah perusahaan pembuat mobil? Pemilik AI yang mengemudikan kendaraan beroda empat secara otomatis? Ataukah penumpang mobilnya?
Pertanyaan lainnya yang lebih bersahabat lagi yaitu untuk percobaan-percobaan yang bekerjasama dengan tikus.
Beberapa penelitian memerlukan tikus dengan kelainan genentik tertentu, dan saintis lah yang membuat kelainan tersebut di laboraturiumnya. Artinya saintis memilih sebagian besar nasib dari hewan.
Nah ini walaupun sedikit namun sudah merupakan permasalahan filosofis yang serupa dengan perkara pada novel Frankenstein, hanya saja tikus tidak bisa protes ataupun membalas perlakuan ke manusia.
Pada tahun ini juga, dunia sains dihebohkan dengan adanya hybrid/chimera manusia-babi. Ini merupakan makhluk adonan antara insan dan babi.
Walaupun tujuan dibuatnya hybrid ini bukanlah untuk melihat manusia-babi melainkan mengakibatkan hybrid ini sebagai sumber organ untuk transplantasi paru-paru. Paru-paru babi memang mirip manusia, bahkan bisa berproses dengan memakai darah manusia, oleh alasannya itu potensial sebagai organ donor.
Penelitinya mengaku bahwa sel insan pada chimera ini berjumlah sangat sedikit sehingga tidak memperlihatkan gejala kemanusiaan. Kemudian mereka membunuh chimera ini ketika sebelum dewasa.
Nah pertanyaanya yaitu bila mereka membiarkannya cerdik balig cukup akal kemudian membunuhnya, apakah yang mereka bunuh itu babi? Ataukah manusia? Jangan-jangan babi tetapi mempunyai kesadaran mirip manusia?Dan pada tahapan ini perkara pada novel Frankenstein benar-benar bisa terulang. Well.. Thats scary…
Di Lab Biokimia, Farmasi ataupun Kedokteran yang bekerjasama dengan pembuatan obat, penggunaan tikus sebagai obyek penelitian merupakan hal yang sudah sangat umum. Akan tetapi insan membuat batasan berupa instruksi etik dalam memperlakukan obyek peneleitian, ini dimaksudkan untuk mempertahankan sifat kemanusiaan kita.
Tetapi pertanyaan filosofisnya ialah, seberapa besar pengaruhnya pengorbanan tikus-tikus tersebut terhadap pengembangan obat-obatan? Bayangkan saja bila 5000 tikus yang diuji cobakan hanya membwa perkembangan hasil 5% dari penelitian, apakah penelitian tersebut manusiawi?
Jika tidak maka kita harus mempertanyakan kembali apakah instruksi etik saja cukup untuk mempertahankan kemanusiaan?
Baca Juga: Membuat Lie Virus!
Legenda Frankenstein dari novel Mary Shelley yang terkenal semenjak tahun 1818 ini membawa sebuah pertanyaan besar kepada ummat insan perihal penciptaan sebuah makhluk. Juga memperlihatkan citra mendasar perihal kewajiban-kewajiban sebagai seorang kreator. Dan terakhir apakah insan layak mencipta sebuah makhluk baru?
[text_block id=”afcbeaf01f70e56071150ff7c09b2212″ content=”‹¨›p‹˜›Kalau kalian suka, Yuk Share. :)‹¨›/p‹˜›‹¨›p‹˜›‹¨›em‹˜›Thanks!‹¨›/em‹˜›‹¨›/p‹˜›” paragraph_whitespace=”true” text_size=”16″ line_height=”” text_color=”#0464b7″ margin=”0px 0px 15px 0px” class=”” _fw_coder=”aggressive” __fw_editor_shortcodes_id=”c12bcb22eeffeb4af26178792f9d375f”][/text_block]
Reff:
Mary Shelley, Frankenstein, Lackington, Hughes, Harding, Mavor & Jones, UK, 1818.
http://www.nobelprize.org/events/nobel-prize-dialogue/
http://news.nationalgeographic.com/2017/01/human-pig-hybrid-embryo-chimera-organs-health-science/
Sumber https://mystupidtheory.com