Random post

Thursday, August 2, 2018

√ Diam-Diam Pendidikan Matematika Anak Di Jepang

Negeri sakura ini sudah sangat dikenal di seluruh dunia lantaran pendidikan abjad anak-anaknya yang begitu berdikari dan sopan. Namun selain sopan, belum dewasa Jepang juga dikenal sangat cerdas di bidang matematika dan ilmu alam lainnya. Mereka punya kompetisi khusus perhitungan cepat di level SD, dan itu menghitungnya sangat cepat, mengalahkan pemegang kalkulator. Apa belakang layar pendidikan matematika anak di Jepang? Mari simak pembahasanku di bawah ini:


Salah satu hal yang saya sukai di Jepang ialah masuk toko buku, lihat-lihat buku fotografi, buku seni kemudian keluar dengan tangan kosong. Cuma lihat-lihat aja XD. Sekali saya pernah membuka buku khusus ujian masuk perguruan tinggi tinggi di Jepang, kalau di sini disebutnya “Jigoku Jikeng” atau “Ujian Neraka”, dan memang benar sekali penggambarannya bahwa ujian ini beneran neraka. Aku buka soal-soal matematika, lantaran emang bisa tahu inti pertanyaanya tanpa membaca kanji-nya. Mengerikan sekali, baik dari jenis soalnya yang sangat sulit untuk dikerjakan, maupun jumlah soalnya yang sangat-sangat banyak. Dari situ saya sadar kalau standard kualitas pendidikan di Jepang, khususnya untuk pelajaran Matematika itu benar-benar jauh berbeda dengan di Indonesia.


Negeri sakura ini sudah sangat dikenal di seluruh dunia lantaran pendidikan abjad anak √ Rahasia Pendidikan Matematika Anak di Jepang
Rahasia Pendidikan Matematika Anak di Jepang


Oleh lantaran itu ketika kemarin temanku bercerita mengenai anaknya yang gres masuk SD (SD) di Jepang, saya jadi tertarik untuk menceritakan ulang dan membahasnya di sini.


 


Pendidikan Matematika Anak di Jepang


Pertama kali tiba di Jepang, temanku optimis walaupun anaknya tidak mengerti bahasa Jepang, tetapi niscaya bisa mengikuti pelajaran matematika dengan lancar. Salah satu alasannya ialah lantaran anaknya sudah berguru matematika semenjak Taman Kanak-kanak dikala di Indonesia. Anaknya itu sudah bisa mengerjakan soal penjumlahan susun dan pengurangan susun, level matematika yang cukup tinggi untuk seorang anak yang gres masuk SD.


Ternyata ketika pertama kali tiba ke SD kelas 1 di Jepang, beliau kaget bukan main. Anak yang dianggap sudah lancar penjumlahan dan pengurangan susun itu tidak berdaya di kelas. Bukan lantaran soal matematika yang sulit, tetapi ternyata justeru lantaran soalnya terlalu mudah.


Loh soal gampang kok malah tidak bisa? Kaprikornus begini ceritanya:


Soal yang diberikan guru pada anak SD di Jepang ialah operasi penjumlahan satu suku (0-10). Tetapi mereka tidak berguru logika dan langkah kerja, melainkan hanya hafalan penjumlahan. Yap! Hafalan penjumlahan 0-10. Kaprikornus belum dewasa disuruh menghafalkan 1+1, 1+2, 1+3, dst. Soal-soal yang diberikan oleh guru pada pelajaran matematika SD ini bukan biar anak menghitung melainkan biar anak menghafalkan karenanya saja.


Oleh lantaran itulah waktu pengerjaan soal-soal yang gampang ini dibatasi sangat singkat, lantaran gampang sekali mendapat karenanya kalau udah hafal kan? Batasan waktu yang singkat inilah yang menjadi problem bagi anaknya temanku yang berguru matematika di Indonesia. Dia tertinggal dari semua sahabat di kelasnya bukan lantaran tidak pintar, tetapi memang metodenya sangat berbeda. Tentu saja gurunya memaklumi hal ini dan terus mendukung perkembangannya.


Soal-soal yang gampang untuk anak ini dikerjakan dan dilatih setiap harinya di kelas dan juga diberikan dalam bentuk pekerjaan rumah. Kemudian sehabis mengerjakan, baik PR maupun di kelas, mereka diharuskan mengoreksi pekerjaan temannya memakai pensil (dengan warna lain). Selama berguru di kelas 1 hingga kelas 3 tidak ada soal yang sulit, yang memerlukan perhitungan yang sistematis, semuanya gampang dah sifatnya ialah hafalan.


Metode latihan soal-soal gampang yang dilakukan berulang-ulang ini dikenal dengan nama metode KUMON. Sebuah metode berguru matematika yang dibentuk oleh Tohru Kumon, orang Jepang yang ingin membantu anaknya berguru matematika dengna gampang dan menyenangkan. Sekarang metode ini dikenal melalui forum bimbingan berguru KUMON yang tersebar di seluruh dunia.


Model pembelajaran ini jauh sekali berbeda dengna kurikulum pendidikan di Indonesia. Mungkin kalian mulai bertanya, kenapa anak kecil di Jepang tidak diajari berlogika dan berfikir logis? Salah satu alasannya ialah lantaran otak mereka belum bisa berfikir logis. Ini merupakan hasil penelitian psikologi perkembangan anak yang disebut Piaget’s Theory.


Baca Juga: Pendidikan Karakter Anak di Jepang


 


Teori Piaget dalam Perkembangan Anak


Teori piaget ini berasal dari eksperiment Piaget yang sangat terkenal. Kalau kalian belum tahu, silahkan lihat di video Youtube ini:



Apa pendapatmu sehabis menonton video tsb? Well.. Apparently we were stupid! XD


Inti dari teori ini ialah, anak kecil pada usia di bawah 7-8 tahun tidak mempunyai kemampuan berlogika dan nalar. Mereka tak bisa membedakan kesalahan dari kebenaran, tidak bisa menyimpulkan dari sederetan fakta walaupun ini sangatlah sederhana. Pengecualian dari teori ini ialah, beberapa anak yang tergolong briliant bisa saja berlogika pada usia 6-7 tahun.


Nah.. Dulunya sehabis membaca teori ini, saya pernah kepikiran


“Lohh.. Kaprikornus mengajarkan anak usia di bawah 7-8 tahun perihal penjumlahan dan pengurangan itu sia-sia donk? Dijelaskan bagaimanapun mereka tidak akan mengerti? Karena perkembangan otak mereka memang belum hingga sana”.


Pertanyaan itu masih gentayangan di pikiranku sih, bahkan hingga sekarang. Jangan-jangan emang sia-sia?


Selagi pertanyaan itu masih bergentayangan di kepalaku, metode pendidikan anak SD di Jepang ini membuatku terkagum-kagum. Sebab logikanya sangat masuk kebijaksanaan dan realistis sekali. Tanpa menentang teori Piaget, mereka tetap menyelenggarakan pendidikan untuk belum dewasa SD usia 7-8 tahun. Kaprikornus begini cara pikirnya, kalau belum dewasa usia kurang dari 8 tahun tidak sanggup memahami penjumlahan, maka ajarkan saja mereka untuk menghafalkan penjumlahan!


Berbeda dari memahami, anak kecil sangat gampang sekali menghafalkan, itulah sebabanya mereka bisa dengan gampang mengingat kosa-kata gres dalam berbahasa. Logikanya sederhananya ialah, anak kecil itu ibarat komputer yang processornya belum berfungsi tetapi harddisk-nya bisa diisi dengan banyak data. Memaksa untuk memproses informasi, tentu saja butuh perjuangan lebih (atau bahkan sia-sia), tetapi untuk mengisinya dengan data, tentu saja bisa dilakukan dengan mudah.


Hal itulah yang dilakukan di sekolah-sekolah di Jepang. Karena sia-sia mengajarkan mereka memproses informasi, maka mereka masukkan saja dulu data yang diharapkan selama masa usia kurang dari 8 tahun.


Data penjumlahan angka satuan yang sudah dilatih selama beberapa tahun itu akan tertanam di otak anak pada kelas 1-3 SD. Setelah itu data ini akan digunakan/ difungsikan ketika kelas 4 , lantaran dikala itu mereka sudah masuk ke bahan logika dan logika. Dengan hafalan penjumlahan dari 1-10 yang sudah mereka lakukan semenjak masuk SD, melaksanakan penjumlahan susun akan sangat gampang dan lancar.


Baca Juga: Kenapa Oleh-oleh di Jepang Harganya Mahal


Jadi tidak akan ada anak yang sangat tertinggal di kelasnya, lantaran kecepatan berhitung mereka didasarkan pada hafalan penjumlahan yang telah dilatih dengan kecepatan yang sama.


Jika kita bandingkan dengan mengajarkan belum dewasa kelas 1, 2 dan 3 untuk berguru menghitung maka tidak semua anak akan mengerti. Hasilnya akan banyak anak yang tertinggal, lantaran memang proses perkembangan otaknya belum hingga pada tahapan berlogika. Hanya bintang kelas saja yang akan bisa menyerap perhitungan matematis dengan mudah. Ini pengalamanku juga ketika mengajari anak SD matematika, dan saya emang nyerah. XD


Yap! Begitulah belakang layar pendidikan matematika anak di Jepang. Mungkin banyak yang akan betanya “Loh? Kaprikornus selama ini sekolah di Indonesia salah donk? Anak Taman Kanak-kanak yang diajarin menghitung itu juga semuanya sia-sia?”. Berdasarkan teori Piaget maka jawabannya terang kalian tahu sendiri. Tetapi kalau berkeyakinan kalau anak kalian yaitu bintang kelas, (genius), maka silahkan saja laga teori Piaget dengan mengajarkan perhitungan pada mereka.


Thanks for reading.



Sumber https://mystupidtheory.com