Random post

Thursday, July 12, 2018

√ Jurnalistik Sampah Dan Netizen Bahlul


Terpaksa judul tersebut saya sematkan di blog ini. Ini yaitu opini saya, biar saja kalian tidak tersinggung. Saya tuliskan dalam rangka mengembalikan ‘rasionalitas dan etika’ yang mungkin telah hilang dikala banjir kuota. 





Penjarahan yang terjadi di Palu merupakan insiden yang miris dan sangat disesalkan oleh banyak pihak. Tidak ada alasan yang bisa membenarkannya, lantaran yang dicurinya bukanlah materi masakan ataupun kebutuhan pokok. 





Melihat insiden ini, awak media bergerak cepat menenteng kameranya, satu-persatu gambar ia kutip, menangkap moment paling menarik mata, ada yang mengundang empati, simpati, pun ada yang hanya mengaktifkan imajinasi liar manusia.





Setelahnya, mereka berkerja dengan laptopnya menuliskan artikel-artikel yang sangat polos, tapi apalah artinya sebuah artikel, toh satu gambar bisa bercerita lebih dari 1000 kata.





Hari itu juga, artikel-artikel dengan judul yang paling “click-bait” dimunculkan. “Penjarahan dimana-mana”, “Penjarahan di Palu” dan bermacam-macam judul serupa. 





Pemilik kuota berlebih, tanpa pikir panjang pribadi memakai layar sentuhnya untuk melihat sebuah gosip kriminal di lokasi gempa. Tak usang berselang hingga tombol Share ditekan. 





Sementara itu, seorang di serpihan dunia lain melihat sebuah artikel click-bait yang ada di beranda sosial medianya. Kelas sosial yang cukup tinggi membuatnya tak perduli kuota, satu sentuhan jari lalu ia sanggup membaca sebuah artikel polos, dengan gambar yang sangat provokatif. 





Siklus berlanjut, share, share, share… Kemudian gosip hingga di tangan media asing, hanya dalam hitungan jam hingga artikel tersebut dirilis dalam bahasa internasional. Booom! Meledak, Pengunjung meningkat, share bertambah, gosip meluas. 





Komentar, cacian, makian, dan kutipan-kutipan keji yang menyalahkan banyak sekali pihak, hingga anutan agama diselipkan ke dalam setiap share yang terjadi. Kolom komentarpun penuh, dengan banyak sekali hasutan tambahan. 





Bagaimana kebenaran dibalik rangkaian mata rantai gosip tersebut? Siapa yang menjarah barang-barang glamor tersebut? Dalam kondisi psikologi apa ia menjarahnya? Apakah ia korban? Atau orang yang rumahnya masih bangkit kokoh, hidupnya masih kondusif lalu memanfaatkan kegaduhan ini untuk menjarah?





Tak satupun gosip merilisnya, pun tak satu media gila pun yang bersedia menyelidikinya. Apakah media mewawancarai pelakunya? Setidaknya menanyakan motivasinya mencuri? Tidak. Takut diamuk? Bukankah nilai jurnalistik itu ada pada keberanian?





Sekarang gosip telah tersebar, persepsi pihak gila telah terbentuk, bahkan juga orang-orang loka. Dampaknya? 





Apakah orang dengan standard moral rendah berhak mendapatkan bantuan? Pertanyaan ini tidak terucapkan, tetapi itu ada dipikiran. Dia menyerupai paku yang menancap ketika membaca artikel click bait dengan foto provokatif. 





Organisasi-organisasi masyarakat jadi kesulitan mengumpulkan donasi. Pihak-pihak gila akan enggan menyalurkan dolarnya, bahkan saudara sebangsa tak lagi mencicipi empatinya. 





Penjarah-penjarah itu yaitu maling paling hina. Mereka yaitu kriminal yang runtuh kemanusiaanya. Namun sekali lagi apa mereka citra umum dari korban gempa di Palu? Apakah jumlah mereka lebih dari 20% korban? sampaikah 10%?





Jangan-jangan mereka terlihat mendominasi hanya lantaran angka share yang banyak, jangkauan yang jutaan, dan kolom komentar yang panjang? Notabenenya itu yaitu kelakuan jurnalis sampah dan netizen bahlul.





Sempatkah terpikirkan nasib para korban yang kehilangan keluarganya, tanahnya, dan masa depan hidupnya? Mereka sedang dalam keadaan lara, linglung dan lunglai. Bahkan sekedar untuk makan dan minum-pun mereka tidak mampu. 





Sedangkan garis proteksi yang akan tiba telah di blokade… oleh jurnalistik sampah, oleh netizen bahlul.





Kalian bagikan ataupun komentari hal ini, tidak menciptakan kalian terlihat cerdas. Sedikitpun tidak ada keuntungannya membagikan gosip ini, kecuali pundi-pundi emas untuk media massa dengan kualitas jurnalistik sampah.





Masih ada waktu, masih ada harapan, segera temukan jalan kalian, untuk membantu mereka. Buktikan kalau kemanusiaan itu masih lebih berharga dari kuota internetmu. 





Huda





Ref: Gambar diambil dari http://www.edexat.com/faqs.html



Sumber https://mystupidtheory.com