Pengertian Sejarah Sastra Indonesia
Secara Umum, Sejarah yaitu insiden yang terjadi di masa lampau yang disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan banyak sekali peristiwa. Atau secara singkat, sejarah yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala insiden atau insiden yang telah terjadi pada masa lampau umat manusia.
Sedangkan sastra berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yaitu "bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang digunakan dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari)". Sedangkan karya sastra berarti karangan yang mengacu pada nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memperlihatkan wawasan yang umum wacana masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas.
Jadi, secara sederhana sejarah sastra sanggup diartikan sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Dalam hal ini kita akan membahas wacana Sejarah Sastra Indonesia. Yakni pertumbuhan dan perkembangan sastra di Indonesia. Kata Indonesia sendiri merujuk pada suatu bangsa atau negara kepulauan yang merdeka pada 17 Agustus 1945.
Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra yaitu segala insiden yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu sanggup menyangkut karya sastra, pengarang, pengajaran, penerbit, kritik, dan lain-lain.
Secara umum, periodisasi Sejarah Sastra Indonesia terbagi dalam beberapa angkatan seperti:
- Angkatan Balai Pustaka
- Angkatan Pujangga Baru
- Angkatan 1945
- Angkatan 1950-an
- Angkatan 1960-an
- Angkatan kontemporer (1970an hingga sekarang).
Secara detail, Berikut pembahasan periodisasi Sejarah Kesusastraan Indonesia lengkap dengan Awal Mula Lahirnya Sastra Indonesia:
Awal Mula Lahirnya Sastra Indonesia
Umar Yunus berpendapat, sastra ada setelah bahasa ada. Misalkan, "sastra X ada setelah bahasa X ada". Karena bahasa Indonesia gres lahir ketika adanya sumpah cowok pada tahun 1928, maka Umar Yunus beropini bahwa kesusastraan Indonesia gres lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Sehingga menurutnya, karya sastra yang terbit sebelum tahun 1928 dianggap bukan digolongkan sebagai hasil satra Indonesia. Melainkan sebagai hasil karya Sastra Melayu saja.
Sedangkan Ajip Rosidi, mempunyai pendapat yang berbeda. Menurutnya, bahasa tidak sanggup dijadikan patokan sebagai kapan sastra itu lahir. Karena, sebelum bahasa diakui secara resmi tentulah bahasa itu sudah ada dan sudah digunakan oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut. Sehingga Ajip Rosidi berpendapat, yang seharusnya dijadikan patokan yaitu kesadaran kebangsaan. Berdasarkan kesadaran kebangsaan inilah Ajip menetapkan lahirnya kasusastraan Indonesia itu tahun 1920/1921 atau tahun 1922. Karena pada waktu itu cowok Indonesia menyerupai Sanusi Pane, Muhammad Yamin dan lain-lainnya menegaskan, bahasa Indonesia itu berbeda dengan Sastra Melayu.
Pendapat berikutnya yaitu dari A.Teeuw. Ia mempunyai pendapat yang berbeda dari dua tokoh diatas. Akan tetapi, tahun lahirnya Sastra Indonesia hampir sama dengan Ajip Rosidi yaitu tahun 1920. Menurutnya, pada waktu itu para cowok Indonesia untuk pertama kali menyatakan perasaan dan wangsit yang terdapat pada masyarakat tradisional setempat dan menuangkannya dalam bentuk sastra. Selain itu, pada tahun yang sama para cowok juga menulis puisi gres Indonesia. Lalu A. Teeuw menegaskan pendapat lahirnya kesusastraan Indonesia pada tahun 1920 sebab pada tahun ini terbit novel Mirari Siregar yang berjudul Azab dan Sensara.
Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969). Secara garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
A. Masa Kelahiran
meliputi kurun waktu 1900-1945 yang sanggup dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu:
- Periode awal hingga 1933
- Periode 1933-1942
- Periode 1942-1945
B. Masa Perkembangan
meliputi kurun waktu 1945-1968 yang sanggup dibagi menjadi beberapa periode, yaitu:
- Periode 1945-1953.
- Periode 1953-1961.
- Periode 1961-1968.
Menurut Ajip Rosidi, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) yaitu dilema sopan santun yang sedang menghadapai akulturasi sehingga menimbulkan banyak sekali masalah bagi kelangsungan eksistensi masing-masing daerah. Sedangkan periode 1933-1942 diwarnai dengan pencarian tempat di tengah pertarungan antara kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantic-idealis.
Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna kegelisahan, pelarian, dan peralihan. Sedangkan warna usaha dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri sekaligus evaluasi kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Sedangkan, pada periode 1961-1968 yang tampak menonjol yaitu warna perlawanan dan usaha mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian banyak sekali kemungkinan pengucapan sastra.
Pada kenyataanya, telah tercatat lima angkatan yang muncul pada rentang waktu 10 -15 tahun sehingga sanggup disusun perodisasi sejarah sastra Indonesia modern sebagai berikut:
- Sastra Awal (1900an )
- Sastra Balai Pustaka (1920 - 1942)
- Sastra Pujangga Baru (1930 - 1942)
- Sastra Angkatan 45 (1942 - 1955)
- Sastra Generasi Kisah (1955 - 1965)
- Sastra Generasi Horison (1966)
Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia berdasarkan Jakob Sumardjo didasarkan pada nama tubuh penerbitan yang menyiarkan karya para sastrawan. Seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Kisah, majalah Pujangga Baru dan majalah Horison, kecuali angkatan 45 yang memakai tahun revolusi Indonesia. Ada juga penamaan angkatan 66 yang dicetuskan H.B. Jassin dengan merujuk pada gerakan politik yang penting di Indonesia sekitar tahun 1966.
Penulisan sejarah sastra Indonesia sanggup dilakukan dengan dua cara atau metode, yaitu:
- menerapkan teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari periode atau angkatan ke angkatan. dan
- menerapkan teori estetika resepsi atau estetika tanggapan
Di samping itu, sejarah sastra Indonesia sanggup juga dilakukan secara sinkronis dan diakronis. Sinkronis berarti penulisan sejarah sastra dalam salah satu tingkat perkembangan atau periodenya. Sedangkan yang diakronis berarti penulisan sejarah dalam banyak sekali tingkat perkembangan, dari kelahiran hingga perkembangannya yang terakhir.
Dari pendapat para pakar di atas, sanggup disimpulkan periodisasi sastra sebagai berikut:
- Angkatan Balai Pustaka
- Angkatan Pujangga Baru
- Angkatan 45
- Angkatan 50an
- Angkatan 60an
- Angkatan kontemporer (70an hingga sekarang).
Berikut yaitu klarifikasi singkat wacana angkatan-angkatan yang terdapat dalam periodisasi Sejarah Kesusastraan Indonesia:
1. Angkatan Balai Pustaka
Nama penerbit Balai Pustaka sudah tidak aneh bagi masyarakat berilmu Indonesia. Karena hingga kini Balai Pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak memproduksi banyak sekali jenis buku. Nama tersebut telah bertahan hampir 100 tahun, jikalau dihitung dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan legalisasi komisi untuk Sekolah Bumiputra dan Bacaan Rakyat (commissie voor de inlandsche school en volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 14 september 1908. Penerbit Balai Pustaka yaitu penggalan pemerintah kolonial yang semangatnya boleh dikatakan berseberangan dengan penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata bervisi komersial maupun bervisi kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang panjang itu maka sepantasnya menjadi penggalan khusus dalam pengkajian atau telaah sejarah sastra Indonesia.
Secara teoretis sanggup dikatakan banyak masalah yang sanggup diungkapkan dari Balai Pustaka selama ini. Antara lain visi dan misi, status, agenda kerja, para tokoh, kebijakan redaksi, pengarang, distribusi, dan produksi. Telaah semacam itu sanggup dijadikan pengkajian sejarah mikro yang niscaya relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia. Ditambah dengan pengkajian banyak sekali tanda-tanda yang berkembang di sekitarnya pastilah memperluas wawasan pengetahuan masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa balai pustaka ternyata bukan satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra modern, atau justru dilupakan saja sebab berjejak kolonial.
Ciri-ciri umum roman angkatan Balai Pustaka:
- Bertema sosial, sebab belum terbuka kesempatan mempersoalkan masalah polotik, watak, agama, dan lain-lain.
- Bergaya bahasa seragam, sebab dikemas oleh redaksi Balai Pustaka, sehingga gaya bahasanya tidak berkembang.
- Bersifat romantic-sentimental, sebab ternyata banyak roman yang mematikan tokoh-tokohnya atau mengalami penderitaan yang luar biasa.
- Bersifat kedaerahan, sebab mengungkapkan dilema yang hanya berlaku di tempat tertentu, menyerupai sopan santun di Sumatra Barat.
2. Angkatan Pujangga Baru
Pujangga Baru timbul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut kesadaran kebangsaan dan rasa nasionalisme. Sastra Pujangga Baru merupakan sastra intelektual, nasionalistis dan elitis.
Pujangga Baru timbul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut kesadaran kebangsaan dan rasa nasionalisme. Sastra Pujangga Baru merupakan sastra intelektual, nasionalistis dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Armijn Pane dan Amir Hamzah. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang kerap diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel "Kalau Tak Untung" dan "Tenggelamnya Kapal van der Wijck" menjadi karya penting sebelum perang.
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga gres yaitu:
- Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Rustam Effendi dan Armijn Pane.
- Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
3. Angkatan '45
Jika diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra Indonesia Angkatan ‘45 sanggup dikatakan sebagai angkatan ketiga dalam lingkup sastra gres Indonesia, setelah angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya karya-karya sastra Angkatan ‘45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi warna gres pada khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada orang yang beropini bahwa sastra Indonesia gres lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu menyerupai St.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu.
Pada mulanya angkatan ini disebut dengan banyak sekali nama, ada yang menyebut Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, dan lain-lain. Baru pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan ‘45. Nama ini segera menjadi terkenal dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum dirumuskan. Baru pada tahun 1950 "Surat Kepercayaan Gelanggang" dibentuk dan diumumkan.
![]() |
Chairil Anwar - Sejarah Kesusastraan Indonesia |
Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam pernyataan perilaku yang menjadi dasar pegangan perkumpulan “Selayang Seniman Merdeka”. Masa Chairil Anwar masih hidup. Angkatan ‘45 lebih realistik dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik. Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan ‘45 tercermin dari sebagian besar karya-karya yang dihasilkan oleh parasastrawan tersebut. Beberapa karya Angkatan ‘45 ini mencerminkan usaha menuntut kemerdekaan. Banyak pula di antaranya yang selalu mendapat kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya dengan keprofesionalannya masih eksis menghasilkan karya-karya terutama mengenai usaha mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan hingga ketika ini karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh penikmat sastra. Sebegitu banyak orang yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ‘45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane beropini bahwa Angkatan ‘45 ini hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru.
4. Angkatan '50
Slamet Muljono pernah menyebut bahwa sastrawan Angkatan ‘50 hanyalah pelanjut (successor) saja, dari angkatan sebelumnya (’45). Tinjauan yang mendalam dan menyeluruh menandakan bahwa masa ini pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu:
- Masa ‘50 memperlihatkan pernyataan wacana aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional lebih lanjut). Periode ‘50 tidak hanya pengekor (epigon) dari angkatan ‘45, melainkan merupakan survival, setelah melalui masa-masa kegonjangan.
- Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada tahun 1945.
Adapun ciri-cirinya yang lebih rinci yaitu sebagai berikut:
- Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi lebih kepada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan aneh dengan perasaan dan ukuran nasional.
- Terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan tempat dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
- Pusat acara sastra makin banyak jumlahnya dan makin meluas wilayahnya hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
5. Angkatan 60an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat bermacam-macam dalam aliran sastra, antara lain munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lain-lain pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada final angkatan yang kemudian termasuk juga dalam kelompok ini menyerupai Purnawan Tjondronegoro, Motinggo Busye, Djamil Suherman, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Selain itu beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Ikranegara, Umar Kayam, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Arief Budiman, Darmanto Jatman, Goenawan Mohamad, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Budi Darma, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.
6. Angkatan 70an
Tahun 1960-an yaitu tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia perpuisian Indonesia. Tahun 1963 hingga 1965 yang berjaya yaitu para penyair anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Karya Sastra sekitar tahun 1966 lazim disebut angkatan ‘66. H.B. Jassin menyebut bahwa pencetus angkatan ‘66 ini yaitu penyair-penyair demonstran, menyerupai Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Slamet Kirnanto, Mansur Samin, dan sebagainya. Tahun 1976 muncul puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menjadi cakrawala gres dalam dunia perpuisian Indonesia.
Sekian Artikel mengenai Sejarah Kesusastraan Indonesia, Lengkap Periodisasi, supaya artikel ini sanggup bermanfaat bagi sahabat baik untuk menambah ilmu, mengerjakan tugas, maupun untuk sekedar menambah wawasan wacana kesusastraan, Sejarah kesusastraan indonesia, sastra lama, pujangga gres dan angkatan pujangga baru. Akhir kata, Terimakasih atas kunjungannya.
Sejarah Kesusastraan Indonesia, Lengkap Periodisasi
MARKIJAR : MARi KIta belaJAR